The ordinary Short Story just for you, Hahahaha!! Enjoy it
Hari itu, tepat hari Sabtu tahun lalu ketika sekolahnya mengadakan lomba band antar kelas untuk memperingati hari valentine. Hari itu dikhususkan untuk lomba band di sekolah agar tidak terjadi hal hal yang tidak di inginkan. Nera mengagumi gitaris dari band yang menjadi juara ke 2 saat itu. Mereka memanggilnya Ega.
Hari itu, tepat hari Sabtu tahun lalu ketika sekolahnya mengadakan lomba band antar kelas untuk memperingati hari valentine. Hari itu dikhususkan untuk lomba band di sekolah agar tidak terjadi hal hal yang tidak di inginkan. Nera mengagumi gitaris dari band yang menjadi juara ke 2 saat itu. Mereka memanggilnya Ega.
Seusai pengumuman kejuaraan band saat itu, para juara langsung menyanyikan lagu andalan mereka. Dan juara lainnya langsung turun panggung. Nera hanya berani memandang Ega. Dia tidak ingin mendekat. Ega memanglah bukan orang yang digemari para gadis di sekolah itu, tapi Nera, dia sangat mengaguminya. Nera terus memandang Ega dari turun panggung sampai masuk ke keramaian siswa siswi di sana. Tiba tiba, Ega memandang Nera. Nera sadar dan langsung memalingkan wajahnya. Pipinya memerah malu. Badannya sedikit panas dan akhirnya Nera menyingkir dari keramaian. Dia berdiri di bawah pohon akasia yang teduh dan melihat penampilan band juara itu.
Semua siswa menikmati lagu yang dibawakan, termasuk Nera walaupun tidak berada di kerumunan. Nera tidak menyadari seseorang ada di sampingnya. “Kenapa kau tidak bergabung?” tanyanya. Nera menoleh. Ega! Jantung Nera berdegup kencang. “Emmm … aku …”
Ega tersenyum manis. “Heh adik kelas … siapa namamu?”
“Aku ... panggil saja Nera”
“Nera? Unik … dari tadi aku perhatiin, kamu liatin aku terus. Ada yang salah?”
“Ah … mmm … nggak ... kayaknya”
Ega menggaruk kepalanya, “Kau kenapa grogi seperti ini? Aku nggak bakalan galak kayak waktu MOS kok. Aku pernah hukum kamu apaan sih kok kamu jadi ketakutan gitu?”
“Emm … nggak kok … ah iya, kak Ega aku mau ke toilet dulu … permisi”
“Bisa kau tahan sebentar?”
Nera berhenti. “Aku mau tanya, apa tadi penampilanku bagus?” Tanya Ega. Nera mengangguk dan tersenyum kecil dan segera berlari. Nera jelas grogi. Bicaranya ngawur banget! Nera melihat wajahnya di cermin, pipinya merah. Pantas saja rasanya dia panas sekali, sebelahnya ada Ega. Nera tersenyum sedikit malu malu.
“Sayangnya dia tidak mengajakmu kencan, ya?” ujar temannya. “Kenapa kamu grogi begitu?”
“Santa? Kamu kemana aja sih? Ngapain kamu bawa tas sama Helm segala?”
“Aku tadi makan rujak kepedesan! Aku sakit perut. Aku baru aja ke UKS, bu Ani nyuruh aku pulang aja. Maaf ya Nera, aku nggak bisa pulang bareng mboncengin kamu. Aku dah nggak tahan nih. Nggak apa apa, kan?”
“Semoga cepet sembuh Ta, terus tugas kelompok kita gimana?”
“Numpuknya 2 hari lagi, kan? Yah nanti aku usahakan cari bahan bahannya terus aku kirimin ke kamu lewat e-mail ya. Eh, aku duluan ya!”
“Ya Ta …” Santa-pun berlalu. Nera langsung ke kelasnya. Sampai di sana, sekumpulan anak band yang sudah selesai tampil duduk di mejanya. Nera mengucapkan banyak permisi kepada mereka tapi mereka tetap tidak menggubrisnya. “Permisi, aku mau ngambil tasku …” ulangnya.
Lagi lagi, Ega ada di belakangnya. Dia langsung menyabet tas Nera. “Kenapa kau harus sopan dengan mereka. Sudah sana!” ujar Ega sambil memberikan tas Nera padanya. Nera langsung mengucapkan terimakasih dan berlalu.
Ia berjalan ke perpustakaan sekolah. Sejak sekolah di sana, tempat faforit Nera adalah perpustakaan dan ruang klub manga. Tempat yang tenang dengan buku buku yang tertata rapi. Nera menuju ke rak buku Bahasa untuk mencari bahan untuk tugasnya. Ia mengambil banyak sekali buku dan membacanya satu per satu.
“Kamu belum pulang, Nera?” Tanya penjaga perpustakaan. “Belum pak, sebentar lagi. Oh iya pak … buku ini boleh saya bawa pulang nggak?” tanyanya sambil menunjukkan sebuah buku yang sudah agak lama karena kertasnya sudah mulai menguning.
Penjaga perpustakaan itu meneliti kode yang tertera di sampul buku. “Waduh, maaf Ra. Buku ini nggak bisa dibawa pulang. Gimana kalau kamu tulis aja yang kamu perlukan di sini. Ini juga belum terlalu sore. Masih jam setengah dua. Saya akan tunggu kamu deh, gimana? Atau besok kamu kembali lagi untuk nulis ini?”
“Saya tulis sekarang aja pak. Tugasnya harus dikumpulin 2 hari lagi. Jadi saya harus selesaikan malam ini. Boleh kan pak?”
“Boleh boleh aja. Tapi jangan sampai jam 4 ya. Saya ada acara” jawab Penjaga perpustakaan. Nera dengan cekatan mengeluarkan notebook-nya dia mengetik cepat kata per kata dengan teliti. Dia membolak balik kertas dan membacanya sebentar, lalu mengetiknya.
Jam tangan seseorang berbunyi tanda waktu sudah tepat pukul 3 sore. Near menghentikan ketikannya dan mencari orang yang memiliki jam tangan itu. “Kurasa cuma aku yang ada di sini …” pekik Nera. Tangan seseorang mendarat di pundaknya.
“Belum pulang juga, adik kelas?” Tanya Ega.
Nera menengok ke belakang. Kenapa kak Ega hari ini ada di dekatku terus? Pikirnya. Wajahnya memerah lagi. “Aku boleh duduk di sini kan?” Tanya Ega sekali lagi. Nera mengangguk. Ega duduk dan mulai membaca buku. Graffiti, begitu judul buku yang dibacanya. “Tugas anak kelas satu itu berat dan banyak lagi. Dulu angkatanku ada yang sampai protes sama guru dan akhirnya … di skors. Sekolah itu nggak gampang dan nggak ada yang nggak bosenin. Kita harus terima tugasnya dan nggak boleh bantah sama guru. Sekolah ini disiplin banget deh” lanjutnya.
Nera hanya tersenyum. Dilanjutkannya menyalin naskah dari buku itu. “Kenapa diam aja? Aku dah bilang sama kamu, aku nggak bakalan galak seperti aku saat MOS dulu. Jawab dong…” Ega memandangi Nera dengan penuh tanda Tanya.
“Tapi aku mau jawab apa?”
“Ya apa kek … kamu baru ngapain sih?”
“Oh … ini … aku nyalin naskah. Bukunya nggak boleh dibawa ke rumah. Jadi aku harus nyalin …”
“Kenapa nggak besok aja?”
“Anu … tugasnya dikumpulin 2 hari lagi. Besok rencananya aku mau ngoreksikan ini ke guru. Aku mau dapet nilai maksimal. Nggak mungkin kan tugas itu nggak ada salahnya? Pasti ada salahnya …”
Ega tersenyum, “Nah … berarti kamu dong yang dicari sekolah ini? Anak disiplin dan rajin ngerjain tugas” Nera menyunggingkan senyumnya “Ah nggak juga”balasnya. Mereka duduk bersama di perpustakaan itu. Tak lama kemudian, Ega keluar. Nera hampir menyelesaikan pekerjaannya. Dia membalik halaman terakhir buku itu dan menyalinnya.
Setelah selesai, Nera meregistrasikan buku yang akan dipinjamnya ke penjaga perpustakaan. “Pak, kak Ega sering ke sini, ya?”
“Kenapa? Kalian tadi kok kayak akrab banget … atau kalian udah ...”
“Ah … nggak lah. Ya … heran aja. Tadi soalnya dia baca buku Grafitti cepet banget. Dia nggak minjem juga …”
“Oh itu, Ega emang anaknya sering begitu. Dia jarang banget ke sini baca buku. Paling kalo ada guru yang nyuruh cari tugas, baru dia kesini. Mungkin karena ada kamu …”
“Bapak ini bisa aja …”
“Ega itu anaknya bukan tipe pendiam, dia gampang banget marah. Dulu, waktu Ega masih kelas satu, dia pernah terlibat perkelahian sama anak sekolah sebelah. Motifnya apa, bapak sendiri kurang tahu”
“Terus yang menang siapa, pak?”
“Ah kamu … ini bukan pertandingan sepak bola. Tapi … akhirnya, anak sebelah nyerah dan Ega di skors di sekolah dan dia di hukum nggak boleh pulang lebih dari jam 3. Ditambah, dia harus tanda tangan sebelum pulang ke kantor BK”
“Oh … saya belum pernah dengar. Kalo gitu, makasih ya pak. Saya pulang dulu, selamat sore!” Nera segera pergi dari Perpustakaan. Langkahnya terlihat tergesa gesa. Nera keluar dari sekolah itu. Sudah tidak ada kendaraan umum lagi. “Aku harus jalan …” pekiknya. Akhirnya Nera berjalan pulang.
Sampai di rumah, dia langsung melanjutkan tugasnya sampai malam. Ibunya mengantarkan makanan ke kamarnya. “Kalo ada tugas, kamu mesti gini. Jangan tidur terlalu malam, Nera. Ibu khawatir kamu sakit”
“Nggak apa apa. Aku nggak bakalan sakit karena aku anak sehat!” jawab Nera. Dia langsung melahap makan malam itu dengan cepat, setelah itu melanjutkan kembali tugasnya. Dia bekerja keras sekali. Dan sampai saat itu, Santa belum juga memberinya e-mail. Karena sudah sangat malam, akhirnya Nera tidak menunggu e-mail Santa lagi. Ia langsung menyiapkan tugasnya untuk besok dan tidur.
Paginya, Nera berangkat sendirian ke sekolah. Di tengah jalan, dia bertemu Ega. “Butuh tumpangan, adik kelas?” awalnya, Nera malu dia tidak pernah berboncengan dengan cowok, yah selain bapaknya. Tapi akhirnya, “Aku nggak bakalan ngapa ngapain kok. Naik aja …” dan … “Ahhh, kakak lho yang nawarin!”
Mereka berdua pergi ke sekolah. Nera masih sedikit canggung. Beberapa kali Ega menanyainya sesuatu, Nera tidak bisa menjawabnya dengan relaks, pasti ada kata selipan, Emmm. Dan itulah yang sering buat wajahnya terlihat lebih manis.
Setiba mereka di sekolah, “Ah!!!! Eh adik kelas! Hari ini hari minggu!!! Kenapa aku bisa lupa ya? Kamu juga?”
Nera baru ingat kalau hari itu, HARI MINGGU. Mereka benar benar konyol sekali. Sekolah sepi dan gerbangnya di tutup. “Aku juga lupa. Aduh?? Gimana nih?”
“Daripada mubazir, jalan jalan aja yuk …” ajak Ega. Nera kaget, jantungnya serasa mau copot. Dia diajak jalan sama EGA! EGA, EGA!!! Dia diem. Malu, mukanya merah merekah. “Ke taman ato makan makan gitu … ato apa ya??”
“Tapi kita masih pake seragam …”
“Seragam kita kan nggak kaya seragam sekolah formal, celananya hitam dan rokmu kaya rok santai gitu, tinggal tutupin jaket, selesai, kan?”
“Masalahnya aku nggak bawa! Aku pulang aja ah …”
“Emmm … ini juga masih terlalu pagi. Aku bawa baju basketku, nah jaketku kamu pake aja. Ini masih pagi banget. Aku juga nggak ada kerjaan di kos kosan…”
Nera mingkem. Nggak ada kata kata lagi yang mau diucapin. Ini mungkin juga kesempatannya ngomong sama Ega. Mereka benar benar merasa konyol. Tapi, Nera sudah memutuskan sesuatu, “Kalau kak Ega nggak keberatan, aku setuju aja make”
“Nah, ini …. Kita terus jogging di taman aja. Nggak jauh kan?” Ega melepaskan jaketnya dan mengambil baju basketnya. Ia mengganti baju di belakang gerbang sekolah. Kebetulan memang di sana sepi. Dan Nera … dia nggak bakalan berani ngintip dan lihat, untuk apa gitu loh???
Mereka berdua akhirnya jogging sama sama di taman, muterin taman sampai kerasa mau copot kakinya. Angin hari itu benar benar dingin. Dinggggiiiiiinnnnn banget!!! Mana kenceng lagi. Setelah kurang lebih satu setengah jam mereka jogging, mereka istirahat di bench.
“Aku ke sana dulu, ya?” kata Ega. Keringatnya segede jagung dan terus mengalir. Ega sama sekali nggak kelihatan kedinginan. Padahal Nera, yang pake jaket ngrasa kedinginan banget. Ega pergi membeli air mineral untuk mereka berdua.
“Nih …” Ega memberi Nera sebotol. “Dingin ya, cuacanya?”
“Ya … Makasih, ya kak Ega”
“Sama sama. Kamu kok ke sekolah juga sih tadi?”
“Aku mau meriksain tugasku. Aku juga nggak inget ni hari minggu. Kalo kak Ega?”
“Aku …? Nggak tau. Aku nggak pernah masang kalender di kamar kosku. Cuma tapi pagi aku semangat banget ke sekolah…. Yah … aku baru sadar sampe di sana ternyata ini hari minggu. KONYOL banget!!! Hahahahaha”
“Kos? Kak Ega kos, ya? Kenapa?”
“IYa” jawabnya singkat. Wajahnya terlihat sedikit murung dan agak marah.
“Ah maaf kak, aku nggak bermaksud Tanya kenapa sebenarnya … ya kalo kakak nggak mau cerita ya nggak apa a ...”
“Nggak, kok. Aku nggak apa apa. Emang sih sebenarnya yang boleh tau cuma aku, tapi … nggak ada salahnya berbagi cerita sama orang lain, kan?” Ega menghela nafas panjang. “Ayah dan Ibuku sudah lama nggak pulang dari Amerika. Aku nggak tau apa mereka masih ingat sama aku apa nggak. Setelah diterima di SMA ini, mereka pergi dan menitipkanku ke pamanku. Tapi, seminggu di sana, aku merasa aku tersiksa, aku dijadikan pembantu beneran! Mulai dari cuci piring sampai jemur baju, aku semua. Kalo nggak, aku digebukin pernah sampai babak belur!”
“Terus kak Ega minggat dan cari kos kosan?”
“Ya … dan paman nggak pernah cari aku. Dan saat itu juga, aku biasanya setelah pulang sekolah kerja, ke bengkel reparasi computer. Mereka senang aku disana. Aku juga. Paling nggak itu cukuplah untuk aku makan, bayar kos, jajan … latihan band, … walau kadang aku agak susah juga ngaturnya….”
“Aku ikut prihatin, kak”
“Nggak … nggak apa apa kok. Aku have fun aja, kok jadi kamu yang sedih gitu? Jangan nangis!” Nera mengusap air matanya. Cerita Ega buat dia terharu banget. Sampai segitunya? Nera mau ini itu minta mulu sama ortunya, tapi Ega … dia sudah hidup mandiri.
Tangan Ega yang hangat mengusap air mata di pipi Nera. “Paling nggak …” Ega berdiri “Kita bisa awali hari ini dengan awalan yang baik, kan?”
“Kak Ega … aku mau ngomong sama kamu, …”
Ega diam. “Sejak pertama aku ketemu sama kak Ega di MOS, aku sudah mengagumi kakak. Dan sekarang aku sudah lebih dari yakin kalau kakak adalah orang yang teguh dan kuat. Aku melihat kebaikan kakak sejak pertama kali aku melihat kakak…”
Ega masih diam. Wajahnya datar. “Kamu masih terlalu pagi untuk bilang itu, Nera. Aku ngerti kok. Matamu sudah bilang itu semua sama aku, aku sudah tau. Ayo pulang”
Nera masih diam tertunduk di bench itu. “Ya ampun … Nera, aku bukannya nggak tertarik atau apa itu semacamnya sama kamu. Justru aku sudah duluan suka sama kamu, aku rasa .... Oke, aku akui kamu yang sudah nyuri hatiku sejak pertama kali kamu datang. Tapi, ...”
“Aku nggak bermaksud nembak kakak, aku … cuma mau bilang aja … soalnya, mungkin dengan ini ... agak lebih ringan dikit ...”
“Haaahh … udah terlanjur, Nera. Aku juga udah bilang” Ega tersenyum. “Mau nggak jadi pacarku?”
Nera diam dan air matanya keluar lagi. Nera mengangguk pelan. “Tapi, Cuma kita yang tau. Nggak Santa, nggak temen teman band-ku, nggak juga guru guru, Cuma kita berdua, oke??” bisik Ega. “Kamu gampang baget sih nangis?? Udah dong …” mereka berdua-pun sekarang sudah sah menjadi pacar.
“Aku nggak nangis ... tunggu, kakak tau Santa?”
“Siapa sih yang nggak kenal sama anak Humas kayak dia? Fanatik Rujak begitu sih udah terkenal seantero SMA” mendengar jawaban itu, Nera tersenyum lalu tertawa lepas.
Keesokan harinya, Nera mengumpulkan tugas itu sendirian. Selanjutnya, hubungan Nera dan Ega semakin berjalan lancar. Mereka berdua pandai menyembunyikan hubungan mereka. Bersikap biasa seperti adik dan kakak kelas.
Suatu hari, Ega menghampiri Nera ke kelasnya. “Santa!!” panggilnya dari ambang pintu kelas.
“Kak Ega?” Santa langsung menghampiri Ega. Suasana kelas itu gaduh dan banyak yang sedang menggerombol. Bahkan Ega lihat ada yang menangis. “Santa, kok rame banget sih?”
“Enghh ...”
“Ah udah lah. Eh Santa Nera a...”
“Kak Ega, selama ini kakak ... pacaran sama Nera kan?”
Jantung Ega seperti lepas. “Udah kak, ngaku deh” desak Santa. Karena dia tidak punya pilihan lain, ia mengakuinya. “Kakak ... harusnya nggak perlu menyembunyikan ini. Kakak kenapa bilang sama Nera juga buat nyembunyiin kabar bahagia selama ini?”
“Tapi ... ini berhasil, kan? malahan lebih lama. Aku juga udah suka sama Nera. Udah satu tahun, lho. Aku seneng banget. Mana Nera? Bawa kesini cepetan!”
Wajah Santa tampak murung, seketika wajahnya merah dan matanya berkaca kaca. “Kak, seandainya aku bisa bawa Nera sekarang ke sini, aku pasti akan lakukan. Soalnya mau diapain juga Nera juga sayang banget sama kak Ega, dan dia bakalan seneng banget kalo dia bisa ketemu sama kakak di sini, sekarang”
“Kamu ngomong apa sih Santa? Udah deh ... Nera mana?” balasnya sambil melihat ke dalam kelas Nera yang kelihatannya tengah diselimuti kegundahan dan kesedihan seperti itu.
Santa meremas kerah seragam Ega. “Nera kak!! Dia nggak bisa kesini karena dia nggak bisa kembali ke dunia ini!!! Dia ... pergi! Pergi kak! Kakak nggak ngerti juga?” air mata Santa mengalir deras.
“Maksud kamu ...” pikiran Ega seakan melayang. “Nggak ... kamu pasti bohong”
“Apa kakak nggak lihat aku nangis gini? Kelasku juga begitu? Apa kakak nggak ngerti??”
“Akan aku buktikan kalau kamu BOHONG, Santa!!!” bentak Ega pada Santa dan langsung berangkat ke rumah Nera dengan perasaan hancur dan air mata yang mulai menetes.
Sampai di rumah Nera, bendera putih telah terkait di pagar rumah Nera. Ega berhenti dan tersentak melihat semuanya. Air matanya menetes. “Nera ...” pekiknya sambil menundukkan kepalanya. Dia melepas helmnya dan turun dari sepeda motornya.
Puk ... seseorang menepuk pundaknya. “Ega, ya?” Ega menoleh. Ega mengenali sosok itu. Dia ayah Nera. “Ega, Nera ...”
Air mata mengalir deras dari pelupuk mata ayah Nera. Mukanya masih menyimpan kesedihan dalam. “Om ... apa Nera sudah ...”
“Ya, anakku sudah ... terpanggil, Ega” Ega berusaha menahan air matanya. “Om, boleh saya tau dimana ... Nera dimakamkan?” pintanya dengan suara yang mulai pecah. Ayah Nera memberitaukan dengan nada begitu surau. Setelah mengucapkan terima kasih, Ega langsung berlari menuju tempat pemakaman itu.
Ketika ia sampai di depan pusara Nera, Ega terjatuh. Air matanya mengguncur begitu deras. Dia melihat sebuah botol kaca yang berisi kertas dan ada tulisan “EGA”. Ega tanpa ragu mengambilnya dan mulai membacanya.
“Kak, Kalau kamu baca ini, mungkin aku juga nggak bisa lama lama nemenin kamu. Mungkin juga aku belum sempet buat kamu terkesan sama hubungan kita, tapi yang perlu kamu tau, mau sampai kapanpun aku akan selalu sayang sama kakak. Mau diapain juga, aku mungkin cuma bisa bertahan sampai detik itu. Tapi kakak tau nggak? Setahun terakhir ini, kakak sudah berhasil buat aku bener bener senang, bahagia rasanya. Tapi ... sekali lagi maaf kak, mungkin sekarang, nggak karena setelah kakak selesai baca ini, aku akan berubah jadi Nera yang selalu bersama kakak, ada selalu buat kakak.
I LOVE YOU, FOREVER”
Bluecherry said: "Ahh ... cerpen ini buatnya nggak main main loh!!! 1 tahun baru kelar hari ini, malem malem pula ... hahahahahaha. Hope you enjoy it"
Salam 34
Bluecherry
Salam 34
Bluecherry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MAKE IT BETTER ... [smile]