“Dimas!” terdengar seruan lantang siswa
siswa SMA diikuti dengan derapan kaki yang menuju kepadanya. Dimas, pemuda yang
terpanggil itu terkapar di tengah lapangan dengan kakinya penuh darah. Segera
teman teman dan guru pembimbingnya membawa Dimas untuk pertolongan P3K di UKS.
“Ricko, aku dah
nggak kuat” kata Dimas pada salah satu teman yang membawanya. “Kamu cowok, kan?
Tahan bentar lagi Dim.” Sahut Ricko dengan suara keras dan panik. Jarak antara
UKS dan Lapangan Olah Raga tidak jauh, tapi darah Dimas mengguncur tidak mau berhenti.
Darah itu membasahi baju semua orang yang membawanya.
Dengan cepat,
Ricko membuka ruang UKS. Tempat itu jarang digunakan, berdebu dan pengap. “Pak,
kita nggak mungkin melakukan P3K disini. Mungkin kita bisa ke klinik sebelah!”
kata Ricko. Semuanya masih terdiam. “Udah! Cepet bawa dia ke klinik deket sini!
Cepetan!” gertak Ricko.
Sampai di klinik
itu, Dimas ditangani dengan cekatan oleh seorang dokter muda laki laki. Tak
beberapa lama, dokter itu keluar. “Maaf, apa saudara Dimas ini punya riwayat
hemofilia?” tanya Dokter itu.
“Ya, dok. Dia
sepupu saya, apa dia butuh darah transfusi sekarang?” jawab Ricko.
Dokter itu
mengangguk. “Tapi, setidaknya saya sudah kasih dia perawatan sementara. Tapi
dia butuh Rumah Sakit yang lebih besar untuk mendapat transfusi darah dan
perawatan medis yang lebih canggih. Ayo bantu saya membawa dia ke sana.”
Ricko dan guru
pembimbing ikut Dimas dan dokter muda itu ke Rumah Sakit tak jauh dari sekolah
mereka. Jaraknya kurang lebih 1 km. Mukanya sudah pucat dan badannya lemas. Raut
muka Ricko sangat tegang, dahinya mengkerut, keringat seakan tak mau berhenti
mengalir di dahinya.
Sampai di UGD,
Dimas ditangani oleh dokter dokter yang terlihat senior. Sayangnya, pintu UGD
itu segera di tutup, Ricko dan guru-nya tidak diperbolehkan masuk.
Beberapa jam
kemudian, seorang dokter keluar dari ruang UGD itu dan mengatakan bahwa Dimas
sudah bisa dibawa ke ruang perawatan. TAPI kondisinya kurang stabil, sehingga
harus ada orang yang menjaganya. Siapa lagi kalau bukan Ricko? Tentu saja Ricko
mau melakukannya dengan senang hati.
**
“Dimas?”
panggilnya ketika mata Dimas perlahan membuka.
“Ricko?” sahutnya
pelan.
“Aku tau kamu
kuat, Dim. Kayak waktu itu waktu kita main basket di rumah dan kamu jatuh, tapi
kamu bisa sembuh dan sekarang bisa sampai ada di depan mataku. Hahaha”
Dimas hanya
tersenyum kecil tapi selang oksigen menutupi senyumannya. Sudah petang dan
Dimas baru saja sadar. “Eh Rick …”
Ricko
memandanginya. “Oksigen ini boleh aku copot nggak ya?”
“Ha?”
“Aku nggak suka
pake beginian”
“Mana bisa? Kamu
istirahat aja! Bawel banget!” kata Ricko.
Dimas diam sesaat.
Menatap ke luar jendela. “Kamu bisa dengerin aku kan?” kata Dimas kemudian.
“Apapun, katamu,
gimana aku bisa menutup telingaku buat saudaraku?”
“Oke” kata Dimas
sambil mengacungkan jempolnya. “Ricko, kalo kamu jadi ke Jepang, bawain aku
action figure Miku dari Harajuku, ya”
“Kita bakalan
kesana bareng bareng, konyol!” jawab Ricko. “Mattaku … kapan kamu nggak bilang macam itu
setiap kali kamu mau tidur?” lanjutnya.
“Hehehe … oke oke. Oyasuminasai.”
Perlahan mata
Dimas tertutup rapat dan tersenyum. Ricko terdiam, ketika ia memejamkan matanya
sejenak, air mata jatuh dari pelupuknya, diikuti dengan cardiometer yang
berbunyi nyaring dengan tampilnya garis hijau lurus di monitor.
Dengan cepat,
Ricko menggoyangkan tubuh Dimas dan berteriak hiseteris. Dalam kepanikan, Ricko
memencet bell, agar ada petugas yang masuk ke ruangan itu menyelamatkan Dimas
sekali lagi. “Dimas!” panggilnya dengan histeris.
Tapi terlambat,
Dimas telah terpanggil oleh-Nya.
**
Setelah pemakaman
itu, hati Ricko masih berkecambuk rasa salah dan berdosa. Sepanjang hari ia
duduk merenung di depan nisan Dimas. “Waktu nggak bisa diputer lagi, Dim. Kamu
yang aku punyai satu satunya. Malam itu setelah kita keluar dari panti asuhan dan
sekolah dengan beasiswa dan hidup dari kerja part time. Membangun mimpi bisa
lihat Jepang dan sekolah di sana bahkan hidup mapan disana sampai tua. Gimana
bisa kamu minta aku habisin waktuku sendiri?” kata Ricko disela deraian air matanya.
Paginya Ricko
kembali ke sekolah. Belajar. Apalagi kalau bukan itu? Oh, mengejar mimpinya dan
Dimas. Mungkin itu satu satunya tujuan dia pergi ke sekolah. Banyak yang telah
berubah darinya. Kematian Dimas mengubahnya menjadi pendiam seketika.
Saat pulang, Ricko
teringat bahwa baju Dimas yang penuh darah masih tertinggal di klinik dokter
muda itu. Langkah kakinya memaksa untuk mengambil kenangan berdarah di sana.
Diketuknya pintu
dan “Permisi” katanya. Seorang gadis di kursi roda membukakan untuknya. Gadis rambut
panjang itu menyunggingkan senyum. “Maaf, tapi klinik ini di tutup karena kakak
dan ayahku ada di rumah sakit. Maaf” ujarnya.
“Nggak kok mbak.
Saya nggak mau berobat. Cuma mau ambil pakaian yang saudara saya pakai kemarin”
Gadis itu
mempersilahkan Ricko duduk menunggu sebentar. Ia mengambil bungkusan baju olah
raga penuh darah itu kepadanya. “Maaf belum saya cuci” katanya sambil
tertunduk.
“nggak apa apa.
Ini juga satu satunya kenangan terakhir dari saudara saya. Terimakasih” jawab
Ricko dengan menarik garis senyum di wajahnya. “Mbak, apa mbak nggak takut di
rumah segede ini?”
“Hehehe. Buat apa
takut, dari kecil saya sudah sering sendirian. Emm … mas, saya ikut berbela
sungkawa atas berpulangnya saudara mas.”
Mendengar ucapan
bela sungkawa itu rasanya telinga Ricko ingin tertutup dan tuli sejenak. Tapi
dia, si murah senyum selalu memberi senyum tipisnya yang khas.
Pulang dari klinik
itu, pikiran Ricko dikelilingi oleh kata gadis itu, saya sudah sering
sendirian. Bukankah buat seorang gadis seperti dia itu hal yang sangat
menyakitkan? Apa dia tidak punya teman? Apa dia tidak pernah keluar? Pikiran
itu telah menggantikan rasa berdosa Ricko kepada Dimas yang telah terubah
menjadi rasa penasaran yang sangat besar.
**
Pulang sekolah,
Ricko melewati klinik yang dijambanginya kemarin. Tulisan tangan Tutup|Close
masih tergantung di pintu depan klinik. Dilihatnya sosok gadis yang ia lihat
kemarin mengamatinya dari balik jendela bertirai putih yang memperhatikan
Ricko. Begitu ia sadar bahwa mereka saling memandang, cepat cepat tirai itu
ditutupnya.
Melihat hal itu,
ia hanya melempar senyum kecil dan terus berjalan melewati klinik itu.
Hal ini
berlangsung seminggu, hingga akhirnya Ricko menuliskan pada selembar kertas
origami yang dilipatnya menyerupai burung bangau. Pulang sekolah, burung bangau
itu ia letakkan di depan pintu klinik. Ia melihat gadis itu memandanginya dan
tersipu. Tapi kali ini, ia melambaikan tangannya kepada Ricko dan Ricko
menjawab dengan senyum khasnya.
Mulai hari itulah,
Ricko dan gadis itu berkomunikasi. Mereka terlihat akrab walaupun gadis itu
belum mau keluar menyapa Ricko. Tapi burung bangau itu selalu ia balas dengan
lipatan kertas sederhana. Semacam chatting yang harus ditunggu semalam dan
berbalas manis.
“Dinner di rumahku
tidak bisa jadi lebih buruk, kan?” ajaknya
dalam balasan terakhirnya.
Malam itu, Ricko
memencet bel di depan klinik “Malam, Natasya” sapa Ricko.
“Hei, malam. Ayo
masuk”
Ricko dan Natasya
memasuki sebuah taman rumput luas yang dibatasi tembok beton yang kokoh.
“Dokter belum pulang?”
“Kakak? Oh dia
barusan pergi sama tunangannya. Ayah sekarang mungkin sedang mengontrol keadaan
pasien di rumah sakit” jawabnya.
Malam itu berhias
bintang dengan kerlipan manjanya. “Sya, kamu tau nggak?” celetuk Ricko kemudian
memecah keheningan. “Aku bentar lagi bakal ke Jepang, sekolah di sana”
Natasya tersedak.
Buru buru ia meneguk air putih di depannya. “Ke Jepang?”
Ricko mengangguk
senang. “ya. Akhirnya impianku kesampean juga”
Natasya hanya
diam, kemudian tersenyum. “Dimas pasti juga senang dengerin ini, Ricko”
Ricko mengangguk.
“Ini impian kita berdua. Hehe, tapi setauku, dia akan ikut kemanapun aku. Dia
pasti juga akan menemani aku di Jepang nanti” katanya girang. “Kalo aja kamu
bisa ikut aku ke sana, eh kenapa kamu nggak coba keluar dan menyusul ibumu ke
sana?”
Natasya menghela
nafas sambil meletakkan garpu dan sendoknya. “Kondisiku belum bisa menopangku
buat pergi, Rick. Tapi aku pengen banget metik bunga sakura waktu musim semi”
“Bunga sakura?” ulangnya.
“Ibu selalu membawakan aku awetan bunga
sakura buatannya sendiri setiap kali ibu pulang. Tapi kemarin,
musim semi ibu sibuk mengurus kakek, dan barusan sebulan ibu pulang, kakek
sakit lagi dan ibu harus kembali lagi ke sana. Aku merindukannya”
Raut muka Natasya
terlihat murung. “Ngomong ngomong … kenapa selama ini kamu nggak pernah melipat
kertasmu?”
“Hehehe … kenapa
baru kamu nanyain itu sekarang? Aku nggak bisa …”
“Gimana kalo kita
belajar bareng buat burung bangau. Gratis kok!” candanya.
Malam itu,
kebersamaan Ricko dan Natasya bersatu di dalam setiap lipatan burung bangau
yang mereka buat.
**
Hawa udara yang
sejuk mengiringi Ricko menyusuri taman di Jepang yang dipenuhi pemandangan hanami. Ricko
lalu teringat permintaan Natasya, “bawakan aku bunga sakura selama kamu
menghabiskan musim semi-mu di sana, ya” malam itu.
Ia mengambil
beberapa kelopak bunga yang jatuh di depannya dan tersenyum. Dengan mengingat
cara cara Ibu Natasya mengawetkan bunga yang diajarkan Natasya lewat buku
tulisan tangannya yang ia bawa selama ia di Jepang.
Menghabiskan waktu
pendidikan di sana dengan sedikit teman tidaklah mudah. Memang dia punya satu
teman akrab bernama Hiroshi Tomoya, tapi Hiro adalah kakak kelasnya yang
sebentar lagi akan lulus dan tinggalah Ricko sendirian. Namun dengan
menghabiskan waktu belajarnya dengan sungguh sungguh dan memandangi foto Dimas
dan dirinya dan Natasya yang tersenyum manis di atas meja belajarnya, Ricko
merasa mereka membantunya untuk terdorong berlari lebih kencang untuk meraih impiannya
menjadi teknisi mesin yang handal.
**
3 tahun sudah
Ricko berada di Jepang. Ia merasa bahwa disana-lah kampung halamannya, rasanya
dia tidak mau kembali. Tapi nyatanya, pagi pagi buta ia telah menyiapkan koper
dan ranselnya tak lupa bersama dengan tiket pesawat menuju tanah air.
Dengan i-pod nano
di sakunya, teralun pelan lantunan musik j-pop berjudul Borderline milik One OK Rock. Hatinya begitu
senang, terbayang wajah bahagia Natasya ketika ia menyerahkan bunga sakura
padanya. Mungkin juga, Natasya akan memeluknya karena sudah lama Ricko
meninggalkan kota kecil itu.
Mata Ricko
berbinar ketika ia masuk ke kabin pesawat. Pertemuan kembali pada kedua orang
yang sangat ia sayangi, Dimas, sepupunya yang kini hanya tinggal nisan yang
mungkin sudah kotor dan Natasya yang membuatnya merasa tidak kesepian lagi,
membuatnya begitu bahagia dan tidak sabar ingin melihat wajahnya yang putih
pucat itu tersenyum senang akan kedatangannya.
**
Tidak ada siapapun
yang menjemputnya di bandara. Karena memang ia tidak meminta siapapun. Ingin
sekali Ricko membuat kejutan buat Natasya. Dengan tidak memberitahu
kepulangannya, Ricko berharap agar hal itu menjadi surprise buat Natasya.
Setelah meletakkan
barang barangnya di tempat kosnya, Ricko melesat ke rumah Natasya.
Diketuknya pintu
klinik itu. Tapi ada yang aneh, di depan pintu tidak ada lagi tulisan tangan
tanda tutup dan buka seperti 3 tahun yang lalu.
“Permisi,”
keluarlah seorang wanita yang tengah mengandung dan menyapa Ricko. Ia
mempersilahkan Ricko masuk dan ia menyuruh menunggu.
“Dokter!” Ricko
beranjak dan tersenyum tipis. Tapi begitu kakak Natasya melihatnya, ia beranjak
pergi. “Dok …” panggilnya. Tapi kakak Natasya tidak sedikitpun menoleh. Ia
terus melangkah pergi.
Perasaan Ricko
gaduh. Jantungnya berdebar tak beraturan. Tak berapa lama, kakak Natasya
kembali bersama istrinya. “Ricko, kamu pasti mencari Natasya, kan?” tebak Kakak
Natasya. Ricko mengangguk mantap.
Dengan gemetaran,
kakak Natasya menyodorkan buku tebal berwarna biru pada Ricko. Ricko hanya
terpaku ketika menerimanya. “Bukalah, Ricko. Itu milikmu sekarang” kata dokter
itu.
Gemuruh langit
pertanda akan turun hujan menyamarkan perasaan gundah yang dirasakan Ricko
dalam ruangan itu. Perlahan ia membuka buku itu. Terlihat tempelan kertas
origami di halaman pertama yang sudah usang yang bertuliskan, “Tanpa kamu di
sini, semua burung bangauku tidak akan pernah jadi. Setiap kali aku membuka
lipatan origami-mu untuk mengulangi pelajaran malam kemarin, aku selalu tidak
bisa mengulanginya lagi. Tapi kurasa tulisanmu saja cukup untuk bisa
menyambungkan hati kita. Itulah yang bisa buat aku bisa tersenyum lebih banyak
sekarang. Ketika kamu pulang nanti, simpanlah buku ini untuk pengganti bunga
sakura yang aku minta dulu. Arigatou”
Ricko memandangi
kakak Natasya dengan muka merah. “Apa ini, kak?”
Kakak Natasya menunduk sejenak. “Itu
adalah pernyataan terimakasih adikku, untuk yang terakhir kalinya.”
Dengan perasaan hancur, didekapnya buku itu. Tuhan, kenapa Kau
tawarkan kepadaku berjuta perasaan untuk mereka, tapi tidak Kau sisakan satu
perasaan buat merasakan kebahagian bersama mereka? Batin Ricko di sela sela kehancuran
hatinya dalam hujan dan angin yang dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MAKE IT BETTER ... [smile]