Total Tayangan Halaman

Selasa, 11 Juni 2013

The Lost Heaven


“Dimas!” terdengar seruan lantang siswa siswa SMA diikuti dengan derapan kaki yang menuju kepadanya. Dimas, pemuda yang terpanggil itu terkapar di tengah lapangan dengan kakinya penuh darah. Segera teman teman dan guru pembimbingnya membawa Dimas untuk pertolongan P3K di UKS.
“Ricko, aku dah nggak kuat” kata Dimas pada salah satu teman yang membawanya. “Kamu cowok, kan? Tahan bentar lagi Dim.” Sahut Ricko dengan suara keras dan panik. Jarak antara UKS dan Lapangan Olah Raga tidak jauh, tapi darah Dimas mengguncur tidak mau berhenti. Darah itu membasahi baju semua orang yang membawanya.
Dengan cepat, Ricko membuka ruang UKS. Tempat itu jarang digunakan, berdebu dan pengap. “Pak, kita nggak mungkin melakukan P3K disini. Mungkin kita bisa ke klinik sebelah!” kata Ricko. Semuanya masih terdiam. “Udah! Cepet bawa dia ke klinik deket sini! Cepetan!” gertak Ricko.
Sampai di klinik itu, Dimas ditangani dengan cekatan oleh seorang dokter muda laki laki. Tak beberapa lama, dokter itu keluar. “Maaf, apa saudara Dimas ini punya riwayat hemofilia?” tanya Dokter itu.
“Ya, dok. Dia sepupu saya, apa dia butuh darah transfusi sekarang?” jawab Ricko.
Dokter itu mengangguk. “Tapi, setidaknya saya sudah kasih dia perawatan sementara. Tapi dia butuh Rumah Sakit yang lebih besar untuk mendapat transfusi darah dan perawatan medis yang lebih canggih. Ayo bantu saya membawa dia ke sana.”
Ricko dan guru pembimbing ikut Dimas dan dokter muda itu ke Rumah Sakit tak jauh dari sekolah mereka. Jaraknya kurang lebih 1 km. Mukanya sudah pucat dan badannya lemas. Raut muka Ricko sangat tegang, dahinya mengkerut, keringat seakan tak mau berhenti mengalir di dahinya.
Sampai di UGD, Dimas ditangani oleh dokter dokter yang terlihat senior. Sayangnya, pintu UGD itu segera di tutup, Ricko dan guru-nya tidak diperbolehkan masuk.
Beberapa jam kemudian, seorang dokter keluar dari ruang UGD itu dan mengatakan bahwa Dimas sudah bisa dibawa ke ruang perawatan. TAPI kondisinya kurang stabil, sehingga harus ada orang yang menjaganya. Siapa lagi kalau bukan Ricko? Tentu saja Ricko mau melakukannya dengan senang hati.
**
“Dimas?” panggilnya ketika mata Dimas perlahan membuka.
“Ricko?” sahutnya pelan.
“Aku tau kamu kuat, Dim. Kayak waktu itu waktu kita main basket di rumah dan kamu jatuh, tapi kamu bisa sembuh dan sekarang bisa sampai ada di depan mataku. Hahaha”
Dimas hanya tersenyum kecil tapi selang oksigen menutupi senyumannya. Sudah petang dan Dimas baru saja sadar. “Eh Rick …”
Ricko memandanginya. “Oksigen ini boleh aku copot nggak ya?”
“Ha?”
“Aku nggak suka pake beginian”
“Mana bisa? Kamu istirahat aja! Bawel banget!” kata Ricko.
Dimas diam sesaat. Menatap ke luar jendela. “Kamu bisa dengerin aku kan?” kata Dimas kemudian.
“Apapun, katamu, gimana aku bisa menutup telingaku buat saudaraku?”
“Oke” kata Dimas sambil mengacungkan jempolnya. “Ricko, kalo kamu jadi ke Jepang, bawain aku action figure Miku dari Harajuku, ya”
“Kita bakalan kesana bareng bareng, konyol!” jawab Ricko. “Mattaku … kapan kamu nggak bilang macam itu setiap kali kamu mau tidur?” lanjutnya.
“Hehehe … oke oke. Oyasuminasai.”
Perlahan mata Dimas tertutup rapat dan tersenyum. Ricko terdiam, ketika ia memejamkan matanya sejenak, air mata jatuh dari pelupuknya, diikuti dengan cardiometer yang berbunyi nyaring dengan tampilnya garis hijau lurus di monitor.
Dengan cepat, Ricko menggoyangkan tubuh Dimas dan berteriak hiseteris. Dalam kepanikan, Ricko memencet bell, agar ada petugas yang masuk ke ruangan itu menyelamatkan Dimas sekali lagi. “Dimas!” panggilnya dengan histeris.
Tapi terlambat, Dimas telah terpanggil oleh-Nya.
**
Setelah pemakaman itu, hati Ricko masih berkecambuk rasa salah dan berdosa. Sepanjang hari ia duduk merenung di depan nisan Dimas. “Waktu nggak bisa diputer lagi, Dim. Kamu yang aku punyai satu satunya. Malam itu setelah kita keluar dari panti asuhan dan sekolah dengan beasiswa dan hidup dari kerja part time. Membangun mimpi bisa lihat Jepang dan sekolah di sana bahkan hidup mapan disana sampai tua. Gimana bisa kamu minta aku habisin waktuku sendiri?”  kata Ricko disela deraian air matanya.
Paginya Ricko kembali ke sekolah. Belajar. Apalagi kalau bukan itu? Oh, mengejar mimpinya dan Dimas. Mungkin itu satu satunya tujuan dia pergi ke sekolah. Banyak yang telah berubah darinya. Kematian Dimas mengubahnya menjadi pendiam seketika.
Saat pulang, Ricko teringat bahwa baju Dimas yang penuh darah masih tertinggal di klinik dokter muda itu. Langkah kakinya memaksa untuk mengambil kenangan berdarah di sana.
Diketuknya pintu dan “Permisi” katanya. Seorang gadis di kursi roda membukakan untuknya. Gadis rambut panjang itu menyunggingkan senyum. “Maaf, tapi klinik ini di tutup karena kakak dan ayahku ada di rumah sakit. Maaf” ujarnya.
“Nggak kok mbak. Saya nggak mau berobat. Cuma mau ambil pakaian yang saudara saya pakai kemarin”
Gadis itu mempersilahkan Ricko duduk menunggu sebentar. Ia mengambil bungkusan baju olah raga penuh darah itu kepadanya. “Maaf belum saya cuci” katanya sambil tertunduk.
“nggak apa apa. Ini juga satu satunya kenangan terakhir dari saudara saya. Terimakasih” jawab Ricko dengan menarik garis senyum di wajahnya. “Mbak, apa mbak nggak takut di rumah segede ini?”
“Hehehe. Buat apa takut, dari kecil saya sudah sering sendirian. Emm … mas, saya ikut berbela sungkawa atas berpulangnya saudara mas.”
Mendengar ucapan bela sungkawa itu rasanya telinga Ricko ingin tertutup dan tuli sejenak. Tapi dia, si murah senyum selalu memberi senyum tipisnya yang khas.
Pulang dari klinik itu, pikiran Ricko dikelilingi oleh kata gadis itu, saya sudah sering sendirian. Bukankah buat seorang gadis seperti dia itu hal yang sangat menyakitkan? Apa dia tidak punya teman? Apa dia tidak pernah keluar? Pikiran itu telah menggantikan rasa berdosa Ricko kepada Dimas yang telah terubah menjadi rasa penasaran yang sangat besar.
**
Pulang sekolah, Ricko melewati klinik yang dijambanginya kemarin. Tulisan tangan Tutup|Close masih tergantung di pintu depan klinik. Dilihatnya sosok gadis yang ia lihat kemarin mengamatinya dari balik jendela bertirai putih yang memperhatikan Ricko. Begitu ia sadar bahwa mereka saling memandang, cepat cepat tirai itu ditutupnya.
Melihat hal itu, ia hanya melempar senyum kecil dan terus berjalan melewati klinik itu.
Hal ini berlangsung seminggu, hingga akhirnya Ricko menuliskan pada selembar kertas origami yang dilipatnya menyerupai burung bangau. Pulang sekolah, burung bangau itu ia letakkan di depan pintu klinik. Ia melihat gadis itu memandanginya dan tersipu. Tapi kali ini, ia melambaikan tangannya kepada Ricko dan Ricko menjawab dengan senyum khasnya.
Mulai hari itulah, Ricko dan gadis itu berkomunikasi. Mereka terlihat akrab walaupun gadis itu belum mau keluar menyapa Ricko. Tapi burung bangau itu selalu ia balas dengan lipatan kertas sederhana. Semacam chatting yang harus ditunggu semalam dan berbalas manis.
Dinner di rumahku tidak bisa jadi lebih buruk, kan?” ajaknya dalam balasan terakhirnya.
Malam itu, Ricko memencet bel di depan klinik “Malam, Natasya” sapa Ricko.
“Hei, malam. Ayo masuk”
Ricko dan Natasya memasuki sebuah taman rumput luas yang dibatasi tembok beton yang kokoh. “Dokter belum pulang?”
“Kakak? Oh dia barusan pergi sama tunangannya. Ayah sekarang mungkin sedang mengontrol keadaan pasien di rumah sakit” jawabnya.
Malam itu berhias bintang dengan kerlipan manjanya. “Sya, kamu tau nggak?” celetuk Ricko kemudian memecah keheningan. “Aku bentar lagi bakal ke Jepang, sekolah di sana”
Natasya tersedak. Buru buru ia meneguk air putih di depannya. “Ke Jepang?”
Ricko mengangguk senang. “ya. Akhirnya impianku kesampean juga”
Natasya hanya diam, kemudian tersenyum. “Dimas pasti juga senang dengerin ini, Ricko”
Ricko mengangguk. “Ini impian kita berdua. Hehe, tapi setauku, dia akan ikut kemanapun aku. Dia pasti juga akan menemani aku di Jepang nanti” katanya girang. “Kalo aja kamu bisa ikut aku ke sana, eh kenapa kamu nggak coba keluar dan menyusul ibumu ke sana?”
Natasya menghela nafas sambil meletakkan garpu dan sendoknya. “Kondisiku belum bisa menopangku buat pergi, Rick. Tapi aku pengen banget metik bunga sakura waktu musim semi”
“Bunga sakura?” ulangnya.
“Ibu selalu membawakan aku awetan bunga sakura buatannya sendiri setiap kali ibu pulang. Tapi kemarin, musim semi ibu sibuk mengurus kakek, dan barusan sebulan ibu pulang, kakek sakit lagi dan ibu harus kembali lagi ke sana. Aku merindukannya”
Raut muka Natasya terlihat murung. “Ngomong ngomong … kenapa selama ini kamu nggak pernah melipat kertasmu?”
“Hehehe … kenapa baru kamu nanyain itu sekarang? Aku nggak bisa …”
“Gimana kalo kita belajar bareng buat burung bangau. Gratis kok!” candanya.
Malam itu, kebersamaan Ricko dan Natasya bersatu di dalam setiap lipatan burung bangau yang mereka buat.
**
Hawa udara yang sejuk mengiringi Ricko menyusuri taman di Jepang yang dipenuhi pemandangan hanami. Ricko lalu teringat permintaan Natasya, “bawakan aku bunga sakura selama kamu menghabiskan musim semi-mu di sana, ya” malam itu.
Ia mengambil beberapa kelopak bunga yang jatuh di depannya dan tersenyum. Dengan mengingat cara cara Ibu Natasya mengawetkan bunga yang diajarkan Natasya lewat buku tulisan tangannya yang ia bawa selama ia di Jepang.
Menghabiskan waktu pendidikan di sana dengan sedikit teman tidaklah mudah. Memang dia punya satu teman akrab bernama Hiroshi Tomoya, tapi Hiro adalah kakak kelasnya yang sebentar lagi akan lulus dan tinggalah Ricko sendirian. Namun dengan menghabiskan waktu belajarnya dengan sungguh sungguh dan memandangi foto Dimas dan dirinya dan Natasya yang tersenyum manis di atas meja belajarnya, Ricko merasa mereka membantunya untuk terdorong berlari lebih kencang untuk meraih impiannya menjadi teknisi mesin yang handal.
**
3 tahun sudah Ricko berada di Jepang. Ia merasa bahwa disana-lah kampung halamannya, rasanya dia tidak mau kembali. Tapi nyatanya, pagi pagi buta ia telah menyiapkan koper dan ranselnya tak lupa bersama dengan tiket pesawat menuju tanah air.
Dengan i-pod nano di sakunya, teralun pelan lantunan musik j-pop berjudul Borderline milik One OK Rock. Hatinya begitu senang, terbayang wajah bahagia Natasya ketika ia menyerahkan bunga sakura padanya. Mungkin juga, Natasya akan memeluknya karena sudah lama Ricko meninggalkan kota kecil itu.
Mata Ricko berbinar ketika ia masuk ke kabin pesawat. Pertemuan kembali pada kedua orang yang sangat ia sayangi, Dimas, sepupunya yang kini hanya tinggal nisan yang mungkin sudah kotor dan Natasya yang membuatnya merasa tidak kesepian lagi, membuatnya begitu bahagia dan tidak sabar ingin melihat wajahnya yang putih pucat itu tersenyum senang akan kedatangannya.
**
Tidak ada siapapun yang menjemputnya di bandara. Karena memang ia tidak meminta siapapun. Ingin sekali Ricko membuat kejutan buat Natasya. Dengan tidak memberitahu kepulangannya, Ricko berharap agar hal itu menjadi surprise buat Natasya.
Setelah meletakkan barang barangnya di tempat kosnya, Ricko melesat ke rumah Natasya.
Diketuknya pintu klinik itu. Tapi ada yang aneh, di depan pintu tidak ada lagi tulisan tangan tanda tutup dan buka seperti 3 tahun yang lalu.
“Permisi,” keluarlah seorang wanita yang tengah mengandung dan menyapa Ricko. Ia mempersilahkan Ricko masuk dan ia menyuruh menunggu.
“Dokter!” Ricko beranjak dan tersenyum tipis. Tapi begitu kakak Natasya melihatnya, ia beranjak pergi. “Dok …” panggilnya. Tapi kakak Natasya tidak sedikitpun menoleh. Ia terus melangkah pergi.
Perasaan Ricko gaduh. Jantungnya berdebar tak beraturan. Tak berapa lama, kakak Natasya kembali bersama istrinya. “Ricko, kamu pasti mencari Natasya, kan?” tebak Kakak Natasya. Ricko mengangguk mantap.
Dengan gemetaran, kakak Natasya menyodorkan buku tebal berwarna biru pada Ricko. Ricko hanya terpaku ketika menerimanya. “Bukalah, Ricko. Itu milikmu sekarang” kata dokter itu.
Gemuruh langit pertanda akan turun hujan menyamarkan perasaan gundah yang dirasakan Ricko dalam ruangan itu. Perlahan ia membuka buku itu. Terlihat tempelan kertas origami di halaman pertama yang sudah usang yang bertuliskan, “Tanpa kamu di sini, semua burung bangauku tidak akan pernah jadi. Setiap kali aku membuka lipatan origami-mu untuk mengulangi pelajaran malam kemarin, aku selalu tidak bisa mengulanginya lagi. Tapi kurasa tulisanmu saja cukup untuk bisa menyambungkan hati kita. Itulah yang bisa buat aku bisa tersenyum lebih banyak sekarang. Ketika kamu pulang nanti, simpanlah buku ini untuk pengganti bunga sakura yang aku minta dulu. Arigatou
Ricko memandangi kakak Natasya dengan muka merah. “Apa ini, kak?”
Kakak Natasya menunduk sejenak. “Itu adalah pernyataan terimakasih adikku, untuk yang terakhir kalinya.”
Dengan perasaan hancur, didekapnya buku itu. Tuhan, kenapa Kau tawarkan kepadaku berjuta perasaan untuk mereka, tapi tidak Kau sisakan satu perasaan buat merasakan kebahagian bersama mereka? Batin Ricko di sela sela kehancuran hatinya dalam hujan dan angin yang dingin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKE IT BETTER ... [smile]

Mengenai Saya

Pengikut