Tian, cowok paling populer di
salah satu SMA di kotanya. Nggak jarang banyak cewek yang mendekati dia. Tapi,
ternyata, Tian juga supel dan baneyak teman. Dari luar, penampilannya sih
mentereng, gaul dan tajir. Tapi ternyata ada juga yang menaruh curiga dan rasa heran
terhadap sosok Tian ini. Sebut saja Kinara, gadis berambut panjang yang menjadi
teman sekelas Tian duduk di bangku kelas 11 ini.
“Kin ...” panggil Tian dari
belakang. Kinara sontak terperanjat, “ngelamunin siapa nih?”
Kinara menggeleng, alat tulis yang
ada di hadapannya tergesa ia bereskan. “Mau langsung pulang?” tanya Tian.
Kinara hanya mengangguk pelan dan beranjak. “Bentar deh. Makan dulu yuk,
nemenin aku makan mie ayam di kantin ... ya? Udah gak ada temen nih” pinta Tian
dengan sopan. Sebenarnya masih ada banyak cewek yang mau menjawab, “Ayo” tapi
cuma Kinara yang Tian ajak, tapi jawaban Kinara hanya menggeleng dan berlalu
dari hadapan Tian.
“Ciee ... yang kemarin jual mahal
...” goda Sabrina, sohib Kinara. Kinara hanya mendengus sebal. “Jangan
keseringan nolak kebaikan orang lain, Kin. Nggak baik itu” nasihatnya kemudian.
Kinara hanya diam sambil menyeruput teh hangat di depannya.
“Aku heran, Sab” kata Kinara
kemudian.
“Heran kenapa?”
“Tian itu ... kok aku gak pernah
lihat dia jalan sama cewek. Dia kan populer, banyak yang bilang dia itu
ganteng, tajir, baik, sopan, banyak lebihnya deh pokoknya. Seharusnya, cowok
seperti dia nggak perlu susah susah untuk mendapatkan cewek kan?”
Sabrina berdecak, “Justru aku yang
heran sama kamu. Kamu membeberkan kelebihan Tian, tapi kamu sendiri? Seriiiiinggg
banget jual mahal sama dia. Diajak ke kantin, nggak mau, diajak ke perpus,
nggak mau, diajak ngobrol, ngelayap, mana aku dibawa juga lagi kayak barusan”
“Soalnya, buat aku, Tian itu nggak
beda sama paranormal. Ogah deket deket sama dia. Coba kalo aku kena pelet!
Siapa yang mau tanggung jawab” jawaban Kinara membuat Sabrina terbahak bahak.
“Eh Sab ... jangan jangan selain
paranormal, Tian itu homo!” lanjut Kinara dengan muka cemas. Sabrina menyubit
perut Kinara, “mana mungkin! Paradikmamu aneh aneh aja deh Kin. Udah ... balik
yuk. Bisa kaku aku disini” sahut Sabrina sambil menarik Kinara beranjak.
“Bentar!! Bayar dulu, main
ngelayap aja!”
##
Bel tanda pulang berdering.
Seperti biasa, Kinara selalu ingin cepat pulang. “Kin ...” suara ini familiar
didengarkan. Tian. “Pulang sama aku yuk. Katanya baru ada kampanye pemilihan
Gubernur. Jalan pasti rame” ajak Tian.
“Nggak, makasih” tolaknya. Kinara
berjalan cepat sekali, tapi sempat ia lihat beberapa teman sekelas
mengerubunginya dan bercengkrama. Namun, Tian dari jauh melihat Kinara yang
berlalu.
Jalanan hari itu padat dan sesak.
Motor merayap pelan pelan, setengah meter, setengah meter, gas pelan, berhenti.
Bahkan angkutan juga sesak dan tidak mau berhenti, meski ada sisa satu bangku.
Kalau mau naik bus, uang Kinara nggak
cukup.
“Sabrina bener, nggak boleh sering
sering menolak kebaikan orang lain. Tapi kalau dia seorang paranormal, hhiiiii
... gimana nggak aku tolak? Ngeri gitu” desisnya. Kinara duduk di halte
berharap ada angkutan umum yang menyisakan bangku untuknya dan berhenti.
“Udah aku bilang, kan ...”
seseorang menjawil pundak Kinara dari samping. “Tian?” panggil Kinara. “Jangan
nolak terus dong ... yuk. Daripada kamu dimarahin ibu kamu” bujuk Tian. Helm
merah tersodor di depan Kinara. Ia mengingat ingat kata Sabrina tadi siang. Di saat
kepepet, menerima bantuan paranormal nggak apa apa kali, ya? Pikir Kinara.
Tidak sama seperti jalan raya itu,
jalan yang dilewati Tian benar benar bebas hambatan. “Kamu tahu rumahku?” tanya
Kinara.
Tian mengangguk. “Setelah jalan
ini, belok kanan, kan?”
“Iya. Nanti ada gapura, masuk,
rumah nomor tiga di sebelah kanan” jelas Kinara.
“Ya ya ... aku sudah tahu persis
...” jawabnya. Kinara kaget bukan main. Rasanya Tian belum pernah main atau
berkunjung ke rumahnya, tapi kenapa dia bisa tahu kalau rumahnya ada di sana?
Keyakinan Kinara bahwa Tian itu seorang paranormal makin menguat.
Sampai di depan rumah Kinara,
hanya ucapan terima kasih yang Kinara lontarkan pada Tian. Tanpa basa basi
mempersilahkannya mampir, Kinara langsung memasuki teras rumah. Tapi Tian masih
menunggunya di depan gerbang, tanpa Kinara ketahui.
“Mbak, cowok keren di depan itu
pacarnya Mbak Kinara ya?” tanya Rina, adik Kinara. “Mbak udah lama lho kayaknya
nunggu di gerbang. Jadi aku persilahkan masuk. Tu ada di ruang depan. Mbak
hebat bener dapet pacar sebegitu gantengnya ...”
Mulut Kinara langsung melongo
lebar, dia meloncat dari tempat tidurnya. Berlari ke ruang depan mencari sosok
Tian yang menggemparkan konsentrasinya. “Kok belum pulang Tian?” tanya Kinara
terengah engah.
Tian diam. “Nggak apa apa. Ya aku
tau ini nggak sopan. Tapi aku belum punya nomor HP kamu. Aku nggak bisa
berkomunikasi sama kamu. Bahkan berulang kali aku menambahkankamu sebagai teman
di Facebook aja kamu tolak terus ...”
Kinara diam. Bingung mau menjawab
apa. Masa’ iya dia bilang kalau Kinara curiga kalau dia paranormal dan homo ...
bisa bisa dia disantet nanti malam. “Lusa party ultahku sweet seventeen. Di restoran
deket sekolah aja kok. Kamu nggak keberatan datang, kan?” Tian menyodorkan
kartu undangan berwarna silver. Undangan itu terlihat sangat bagus buat Kinara.
Sedikit ragu ketika Kinara
mengambil undangan itu dari tangan Tian. Setelah senyum terkembang di wajah
rupawan Tian, Tian berpamitan dan berlalu.
Paginya, Kinara langsung
menceritakan semuanya pada Sabrina. Sabrina hanya menyodorkan kartu undangan silver
yang sama. Itu artinya bukan cuma Kinara yang diundang. Teman temannya juga.
Jadi ini bukan pelet atau metode perdukunan lainnya. Hati Kinara mulai tenang.
“Kin, tau nggak?” tanya Sabrina
ketika menyantap bekalnya bersama Kinara di kantin.
Kinara hanya menangkat janggutnya,
tapi terus mengunyah makanannya. “Tadi, aku cek di timeline FB Tian, beuh ...
bukan main ramenya!”
Kinara masih saja mengunyah.
“Dengerin aku nggak sih?” kata Sabrinaa mulai sedikit marah.
“Iya iya ... kaya nggak tahu aku
aja kayak gimana kalo ngobrol. Lanjutin ... aku pengen ngorek info tentang
paranormal muda satu itu ...” jawab Kinara.
“Ohh ... sudah mulai tumbuh toh
benih benih cinta yang Tian sebarkan ...”
“Apaan? Aku nggak merasa dia
menebarkan apapun. Kecuali pesona sebagai paranormal muda berbakat. Dia kan
banyak tebar pesona dimana mana”
“Khususnya sama kamu, Kin” bisik
Sabrina.
Kinara terperanjat. Memang benar
Tian selalu didekati banyak cewek di sekolah. Tapi nggak pernah tuh Kinara
lihat Tian jalan sama cewek. Malahan dia sedikit sekali ngobrol sama cewek.
Cewek yang sering banget dia ajak bicara duluan ya cuma Kinara. Yang lain ...
ya ngajak Tian ngobrol duluan. Tian juga jarang jalan sama cowok yang nggerombol
kayak kambing ternak, paling cuma sama 3
orang, 4 orang atau 5 orang lah maksimal. Tapi diantara cowok yang jalan sama
Tian, palingan cuma ngajak Tian main basket atau voli atau sepak bola atau ke
perpustakaan waktu istirahat, dan nggak ada yang sama. Setiap hari Tian main
main sama orang orang berbeda dan mereka terlihat sangat akrab.
Itulah mengapa Kinara bisa mengira
kalau Tian itu homo. Tapi, bisikan Sabrina tadi siang membuatnya susah tidur.
Apakah hanya perasaan Sabrina atau memang Tian perlahan menyebar benih cinta
kedalam hati Kinara?
“Kamu nggak bawa apa apa?” tanya
Sabrina ketika menghampiri Kinara.
“Cuma bawa ini. Kali aja aku mau
nambah makan, aku harus bayar sendiri kan”
Sabrina berdecak. Ia tak tega
melihat sahabatnya yang cantik jelita tapi koneksinya putus – putus itu
berpenampilan tak sesuai dengan harapannya. “Kin ... Kin ... kayaknya dulu kita
pernah beli aju yang lebih bagus dari itu deh. Aku yang milihin. Jangan pake
ini ah ...”
“Sab ... aku sebenernya mau buat
Tian itu ilfil lihat aku. Masa iya aku nanti punya pasangan paranormal? Kamu
tahu kan aku paling parno sama paranormal ...”
“Kin, udah ah. Jangan buat malu
diri kamu sendiri di depan orang banyak. Pake baju yang pantes. Aku kan juga
malu bawa sahabat yang pura pura nggak bisa dandan kaya gini ... udah yuk
masuk, ganti, aku bantuin. Ya?”
Bujukan Sabrina akhirnya membuat
Kinara berubah pikiran. Ia sekarang menggunakan blouse tanpa lengan berwanra
biru langit dan sebuah jepit rambut kupu-kupu hijau toska tersemat di rambut
hitamnya.
Sampailah Kinara dan Sabrina ke
tempat pesta itu akan diadakan. Hanya restoran biasa, tempat para pemuda sering
nongkrong sambil pesan minuman dengan harga standar. “Wah Kin, udah banyak yang
dateng. Samperin yuk,” ajak Sabrina.
Ketika sedang asyik ngobrol sama
teman sekelasnya, Tian datang dari arah dalam restoran dan memberi sedikit sambutan.
“Makasih sudah datang. Bla bla ...” setelah itu dilanjutkan dengan lagu Happy
birthday to you seperti biasa yang dilakukan. Datang saatnya pemotongan kue.
Giliran para cewek yang gempar, dalam benak mereka, siapakah yang akan mendapatkan
potongan kue pertama Tian. Seperti yang ada di sinetron sinetron dulu.
“Kue ini special buat ...” Tian
mengangkat kuenya, lalu, seperti terhipnotis, para gadis mengangkat tangannya,
ya kecuali cewek yang masih percaya kalau Tian itu paranormal. “Spesial buat
cewek yang baru minum di pojokan itu ...” lanjutnya sambil menunjuk ke cewek
yang dimaksudnya.
Cewek itu tersenyum, rambut hitam
yang panjang mengurai indah ketika dia berjalan menghampiri Tian, tinggi
semampai, dan berkulit putih. “Makasih, sayang” katanya saat mengambil kue dari
tangan Tian.
“Let’s Party everybody!” sorak
cewek itu membahana. Musikpun nyala dan orang orang yang ada disitu terbawa
suasana hingga malam.
“Sab, udah malam, pulang aja yuk.
Nggak asyik disini” ajak Kinara.
“Baru aja mulai ...”
“Nggak peduli. Aku sudah datang,
kita sudah datang. Mau apa lagi? Undangannya nggak bilang suruh sampai selesai,
yang penting datang, terakhir di undangan itu kan tertulis, “DATANG YA” ... ayo pulang” Kinara menarik Sabrina keluar
dari lokasi pesta.
“Bentar Kin, bentar deh”
“Kalo gitu aku pulang sendiri!”
ancam Kinara.
“Ya oke, tapi kita izin dulu sama
yang punya acara ... nggak sopan tau!”
“Nggak pake izin segala! Ayo
pulang!”
Akhirnya dua sahabat itu pulang
tanpa izin, juga tanpa mereka sadari ada sepasang mata manusia yang kecewa
melihat kepergian mereka dari gazebo tak jauh dari sana.
##
Kin temenin aku di kafe kemarin ya ... PLEAAASSSEEEEE ... pinta
Sabrina lewat pesan singkat. Hari Minggu, belum waktunya Kinara bangun dari
peraduannya pukul 06.00. “Ini anak aneh aneh aja dah ...” Kinara mandi dan
bergegas menjemput Sabrina. Meski sudah mandi, rasa kantuk Kinara belum
terlulutkan jua. Dengan mata sipit dan mulut yang terus menguap Kinara berjalan
ke ruman Sabrina.
Di gang, belok kanan dikit ...
pikir Kinara. Setelah menutup gerbang rumahnya, rasa kantuk Kinara pecah,
seorang pemuda dengan baju pesta yang sama dilihatnya kemarin malam ada di
depan gerbang bersandar di atas motor dengan rupa garang.
“Tian ... kok kamu ada di sini?”
Tian menghampiri Kinara dan
mencengkram lengan Kinara seolah Elang yang lapar. “Sekarang ikut aku” Kinara
tak bisa melepaskan cengkraman menyakitkan itu. “Lepasin, Tian!”
Kinara hampir meneteskan air
matanya ketika menahan sakit cengkraman Tian. “Apaan sih ... sejak kapan kamu
ada di depan rumahku dan kenapa HP Sabrina ada di tangan kamu ... mau kamu apa
sih?”
Tian menghela napas. Ia melihat
mata Kinara yang berkaca dan merasa bersalah. “Aku nggak pantes melakukan ini
semua, aku mungkin nggak akan pantes bersanding sama gadis macam kamu. Kin,
maaf ya. Anggap aja ini semua nggak pernah terjadi ...” Tian berlalu dengan
sepeda motornya yang cepat.
Kinara berlari ke dalam rumahnya
dan menangis terisak di dalam kamarnya yang hening sampai ia tertidur pulas
lagi.
##
Ketika akan berangkat ke sekolah,
Kinara mendapati kotak kecil berpita merah di atas tas sekolahnya. Maklum
Kinara tidur seharian setelah kejadian minggu pagi itu. Dibukalah kotak itu, “Kinara,
aku harap kamu mau menerima ini. Ini Cuma pemberian kecilku kok. Aku pernah
lihat kamu sama Sabrina ke toko SweetApple17 dan aku nggak sengaja dengar kamu
pengen banget kalung ini. Semoga kamu suka, ya? Kelihatannya kamu cocok banget
deh pake kalung ini. Aku pengen sekali kali lihat kamu pake kalung ini deh Kin,
pasti cantik banget deh. Kin, kamu kira aku paranormal ya? Bukan ... aku bukan
paranormal kok. Aku Cuma cowok yang pengen tau tentang kamu aja kok. Dan semua
itu terjadi begitu aja dan aku nggak tau kenapa cinta ini tumbuh sejak saat
kamu tersenyum”
Segera Kinara pergi ke sekolah
mencari sosok Tian yang selalu ia tolak keberadaannya. “Kin ...” kata Sabrina
lirih. “Sab ... ada apa? Tian mana?”
Selembar kertas dalam amplop putih
tersirat bahwa Tian Agustin Mahesa telah berpulang ke Rahmatullah kemarin malam
pada pukul 23.00 karena kesalahan medis, jasad akan dimakamkan pada hari ini,
Senin, 15 Agustus 2013 pada pukul 9.00.
Begitu membaca nama Tian, Kinara
runtuh dan menangis sejadi jadinya dipundak sahabatnya, And that is how the
story ends ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MAKE IT BETTER ... [smile]