Total Tayangan Halaman

Senin, 30 Desember 2013

SAMPLE STORYBOARD


“Akhirnya!!” seru Titan, Garnett spontan meledak kemarahannya, “Titan, ini perpustakaan!! Kamu tadi suruh aku nemenin kamu malah kamu yang bikin aku malu begini …” bentaknya.

“Hei kalian!! Ini perpustakaan, tolong jaga ketenangan atau kalau kalian berbuat begitu lagi, kalian dihukum membereskan perpustakaan ini selama 1 minggu, mau?!!” kata penjaga perpustakaan, Pak Jojo. Titan dan Garnett langsung diam dan menundukkan kepala.
Setelah pak Jojo berlalu, Titan berbisik pada Garnett, “Nett, aku udah selesai buat cerpen buat tugas besok, lho!!”
“Ah yang bener? Mana aku liha …” segera Titan menutup laptopnya dan segera menarik Garnet untuk beranjak dari tempatnya keluar perpustakaan itu. “Titannn!!!” gerutu Garnett. “Sori deh … tadi pak Jojo ngliatin kita lagi, melotot malah!” katanya sambil mengajungkan kedua jarinya ke matanya.
“Haaa … udah deh! Sini aku baca cerpenmu!” kata Garnett. “Hahaha … aduh Nett, aku lupa! Ada kelas music nanti! Aku harus buru buru. Eh iya, nanti kamu pulang sendiri bisa, ‘kan?” kata Titan cepat sekali, kelihatannya ia gugup.
“Titaaaaaannnn!!!!” muka Garnett merah padam, tandanya ia marah. “Sori deh Nett, bisa ya? Bisa?” kata Titan. “Ada apa sih Tan? Nggak biasanya deh …”
“Aaahh ada sesuatu pokoknya. Satu hari ini aja deh, oke?”
“Okelah. Tapi aku baca dulu cerpenmu bo …” Titan langsung lari ke kelasnya. “TITAAAAAANNN!!! AKU GOROK KEPALAMU NANTI KALAU AKU KETEMU LAGI!!!!” jeritnya.
Bel pelajaran berbunyi, Garnett memasuki kelasnya dengan langkah gontai. Ia juga tidak bersemangat dalam mengikuti pelajaran. Tapi tunggu dulu, ini memang pelajaran yang tidak disukai Garnett!! Matematika! Pantas saja Garnett begitu. Disamping pelajarannya yang susah baginya, dia juga benci cara mengajar guru matematika itu. Gimana nggak? Orangnya cuek banget sama muridnya! Beliau nggak pernah tanya ke muridnya, “Sudah mengerti anak anak?” atau semacamnya. Dan itu yang membuat Garnett semakin tidak menyukai matematika.
Sampai bel pulang berdering, Garnett masih duduk lesu di bangkunya. “Nett, nggak pulang?” tanya Hans. “Oh Hans? Belum nih …” jawabnya sambil membenahi posisi duduknya. “Titan nggak nganter kamu pulang, ya?” Garnett mengelengkan kepalanya. “Hans, kalau gitu aku pulang dulu, ya ...” katanya sambil berdiri dan mengambil tasnya.
“Eh bentar Nett, aku bawa dua helm kebetulan. Aku anterin kamu pulang, ya?”
“Ahh makasih Hans, kamu baik banget. Tapi nggak usah repot repot. Aku ada sesuatu yang mau aku kerjakan dulu …”
“Kalau gitu aku bisa anterin kamu juga, kebetulan lesku hari ini libur”
“Makasih banyak Hans … tapi umm … aku mau enghh … ah! Aku mau pergi ke tempat temenku untuk yaaa… ngurusin urusan cewek gitu … cowok nggak boleh ikut ikutan …”
“Tapi …”
“Makasih tawarannya, ya Hans, tapi aku bisa sendiri, kok. Beneran deh. Duluan ya??” kata Garnett buru buru pergi. Dia nggak mau Hans ngejar ngejar dia buat pulang bareng. Dia juga sebenernya sedikit takut karena dia pernah mendengar bahwa Hans itu kalau ngendarai sepeda motor ngebut. Padahal Garnett itu orangnya anti ngebut.
Garnett pulang sendirian. Berjalan keluar gerbang sekolah menuju ke rumahnya. “Titan tu … ngeselin kok setiap hari!” gerutunya. “Eh tapi … kebetulan juga, hari ini cerah dan langitnya bagus banget, jalanan juga lumayan sepi. Kenapa nggak aku nikmatin aja ya?” Garnett berjalan perlahan. Sampai ia melihat sebuah tulisan “Be my Valentine”  di sebuah toko roti.
“Valentine, ya? Udah deket juga. Aduh apa yang bakalan aku kasih??” pikir Garnett. Seketika mukanya jadi merah merona. “Mana kurang 7 hari lagi, enaknya dikasih apa ya?” gumamnya sambil berjalan lagi. “Ah! Aku tau!” serunya seketika. Ia lari secepat kiilat ke rumahnya yang tinggal beberapa meter lagi.
Seharian, Garnett sibuk di kamarnya sampai ia menulis “DO NOT DISTURB!” di depan kamarnya. Hal itu berlangsung selama 5 hari berturut turut sampai kadang mata Garnett merah dan ada kantong matanya. Dia juga tidak luput dari ketiduran dalam kelas. Dan teman temannya tidak berhenti mengingatkannya untuk cukup tidur.
Pada hari ke 6, Titan menemui Garnett setelah pulang sekolah, “Nett … maaf aku nggak bisa anterin kamu pulang lagi …”
Garnett hanya diam. Dia mengusap wajahnya. “Maaf banget Nett. Tapi …”
“Kamu bilang Cuma satu kali doang. Tapi malah udah berapa kali ini?? Sebenernya ada apa sih? Jangan bilang kamu kena hukuman seminggu mberesin perpus setelah pulang sekolah!” potong Garnett sambil menguap. “Hehehe … ah Nett ya nggak lah! Mana mungkin begitu! Aku kan nggak berani masuk ke perpus tanpa kamu … aku ya sibuk banget akhir akhir ini …”
Garnett memandangi Titan dan memegangi dahi Titan, “Sibuk? Orang beginian juga bisa sibuk ya? Perasaan dari dulu kamu nggak pernah …”
“Nett, aku baru ada proyek soalnya” potong Titan.
“Apa? Proyek? Proyek buat kandang kucing lagi??”
“Bukan, proyek ini buat orang yang paling penting buat aku …” kata Titan. Muka Garnett merah padam. Dia tersenyum kecil dan matanya berkaca kaca. “Kalo gitu … good luck ya … aku pergi dulu”
“Nett?” panggil Titan, namun sayang, Garnett sudah berlalu cepat.
Malam harinya di kamar Garnett, dia menangis tersedu sedu. “Gitu ya? Titan dari dulu memang nggak pernah berubah. Dia tetap bodoh!” bisiknya dalam hati. “Tapi … aku juga sudah memutuskan bahwa Titanlah yang sudah membuatku memaksakan diriku untuk membuatkannya ini, dan dari awal aku sudah benar benar berniat memberikannya sebagai kado valentine. Aku tidak boleh menyia nyiakan niat baikku. Mau nggaknya Titan menerima ini … pokoknya aku harus selesaikan dan kasih dia ini, karena nggak Titan terus siapa lagi? Masa’ Hans? Hiii … mendingan Titan 100 kali” Ganett bangun dari tempatnya dan sibuk lagi mengerjakan sesuatu sebagai kado valentine untuk Titan.
“Nah … selesai …” gumamnya senang. Dia menjunjung tinggi sebuah syal berwarna hitam yang tengahnya bergaris ungu dan di ujungnya tersulam lingkaran merah. Garnett membungkusnya ke dalam sebuah tas kertas yang ia beli dan memasukkan kartu ucapan.
Esoknya, tepat hari Valentine. Sepulang sekolah Garnett memberikan tas itu pada Titan. “Tan … ini buat kamu” anehnya, Titan menerima itu dengan dingin dan begitu saja berlalu. “Aku tau Tan, ini bakalan jadi begini. Tapi semoga apa yang aku lakukan nggak ngecewain kamu” gumamnya didalam isak tangis yang membanjiri pipinya. Hati Garnett saat itu rasanya benar benar hancur.
Setelah hari itu, Garnett dan Titan tidak pernah bertemu. Bahkan ketika mereka berpapasan, Titan memalingkan mukanya dari Garnett. Hal itu semakin membuat hati Garnett semakin hancur.
Hingga suatu hari Titan mengunjungi Garnett di rumahnya. “Hai, Nett …”
“Titan?” balasnya. Air matanya seakan akan meleleh keluar.
“Nett … aku mau minta maaf” ujar Titan “Aku … sebenernya …”
“Tan …” sela Garnett. Titan memandangi Garnett. “Kamu pake … apa di lehermu?” Titan menarik syal di lehernya. Syal itu pemberian Garnett padanya. “Ya, Nett … buatanmu”
Garnett memandanginya tidak percaya. Ia tersenyum dengan malu. “Semoga kalo kamu pake itu … kamu jadi nggak kena flu lagi, ya Tan …”
“Sembarangan!! Aku kan kuat!”
“Kuat sekuat gabus, iya!”
“Kok jadi ngeledekin gini sih?”
“Kemarin kamu nggak masuk gara gara sakit pilek kan?”
“I… itu kan biar aku punya alasan untuk nggak ikut ujian Sejarah!”
“Ahh … yang bener??? Bukannya sejarah pelajaran kesukaan kamu??”
“Aaaahhh … udah deh Nett … ni untuk kamu! Aku pergi dulu ya!” sebuah kotak putih berpita kupu kupu ditinggalkan Titan kepada Garnett, Titan berlalu. Garnett membuka kotak itu dan menemukan secarik surat yang bunyinya: … muka Garnet memerah dan senyum menghiasi wajahnya. “Aku tahu sekarang, bodoh …”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKE IT BETTER ... [smile]

Mengenai Saya

Pengikut