“Akhirnya!!” seru
Titan, Garnett spontan meledak kemarahannya, “Titan, ini perpustakaan!! Kamu
tadi suruh aku nemenin kamu malah kamu yang bikin aku malu begini …” bentaknya.
“Hei kalian!! Ini
perpustakaan, tolong jaga ketenangan atau kalau kalian berbuat begitu lagi,
kalian dihukum membereskan perpustakaan ini selama 1 minggu, mau?!!” kata
penjaga perpustakaan, Pak Jojo. Titan dan Garnett langsung diam dan menundukkan
kepala.
Setelah pak Jojo
berlalu, Titan berbisik pada Garnett, “Nett, aku udah selesai buat cerpen buat
tugas besok, lho!!”
“Ah yang bener?
Mana aku liha …” segera Titan menutup laptopnya dan segera menarik Garnet untuk
beranjak dari tempatnya keluar perpustakaan itu. “Titannn!!!” gerutu Garnett. “Sori
deh … tadi pak Jojo ngliatin kita lagi, melotot malah!” katanya sambil mengajungkan
kedua jarinya ke matanya.
“Haaa … udah deh!
Sini aku baca cerpenmu!” kata Garnett. “Hahaha … aduh Nett, aku lupa! Ada kelas
music nanti! Aku harus buru buru. Eh iya, nanti kamu pulang sendiri bisa,
‘kan?” kata Titan cepat sekali, kelihatannya ia gugup.
“Titaaaaaannnn!!!!”
muka Garnett merah padam, tandanya ia marah. “Sori deh Nett, bisa ya? Bisa?”
kata Titan. “Ada apa sih Tan? Nggak biasanya deh …”
“Aaahh ada
sesuatu pokoknya. Satu hari ini aja deh, oke?”
“Okelah. Tapi aku
baca dulu cerpenmu bo …” Titan langsung lari ke kelasnya. “TITAAAAAANNN!!! AKU
GOROK KEPALAMU NANTI KALAU AKU KETEMU LAGI!!!!” jeritnya.
Bel pelajaran
berbunyi, Garnett memasuki kelasnya dengan langkah gontai. Ia juga tidak bersemangat
dalam mengikuti pelajaran. Tapi tunggu dulu, ini memang pelajaran yang tidak
disukai Garnett!! Matematika! Pantas saja Garnett begitu. Disamping
pelajarannya yang susah baginya, dia juga benci cara mengajar guru matematika
itu. Gimana nggak? Orangnya cuek banget sama muridnya! Beliau nggak pernah
tanya ke muridnya, “Sudah mengerti anak anak?” atau semacamnya. Dan itu yang
membuat Garnett semakin tidak menyukai matematika.
Sampai bel pulang
berdering, Garnett masih duduk lesu di bangkunya. “Nett, nggak pulang?” tanya
Hans. “Oh Hans? Belum nih …” jawabnya sambil membenahi posisi duduknya. “Titan
nggak nganter kamu pulang, ya?” Garnett mengelengkan kepalanya. “Hans, kalau
gitu aku pulang dulu, ya ...” katanya sambil berdiri dan mengambil tasnya.
“Eh bentar Nett,
aku bawa dua helm kebetulan. Aku anterin kamu pulang, ya?”
“Ahh makasih
Hans, kamu baik banget. Tapi nggak usah repot repot. Aku ada sesuatu yang mau
aku kerjakan dulu …”
“Kalau gitu aku
bisa anterin kamu juga, kebetulan lesku hari ini libur”
“Makasih banyak
Hans … tapi umm … aku mau enghh … ah! Aku mau pergi ke tempat temenku untuk
yaaa… ngurusin urusan cewek gitu … cowok nggak boleh ikut ikutan …”
“Tapi …”
“Makasih
tawarannya, ya Hans, tapi aku bisa sendiri, kok. Beneran deh. Duluan ya??” kata
Garnett buru buru pergi. Dia nggak mau Hans ngejar ngejar dia buat pulang
bareng. Dia juga sebenernya sedikit takut karena dia pernah mendengar bahwa
Hans itu kalau ngendarai sepeda motor ngebut. Padahal Garnett itu orangnya anti
ngebut.
Garnett pulang
sendirian. Berjalan keluar gerbang sekolah menuju ke rumahnya. “Titan tu …
ngeselin kok setiap hari!” gerutunya. “Eh tapi … kebetulan juga, hari ini cerah
dan langitnya bagus banget, jalanan juga lumayan sepi. Kenapa nggak aku
nikmatin aja ya?” Garnett berjalan perlahan. Sampai ia melihat sebuah tulisan
“Be my Valentine” di sebuah toko roti.
“Valentine, ya?
Udah deket juga. Aduh apa yang bakalan aku kasih??” pikir Garnett. Seketika
mukanya jadi merah merona. “Mana kurang 7 hari lagi, enaknya dikasih apa ya?”
gumamnya sambil berjalan lagi. “Ah! Aku tau!” serunya seketika. Ia lari secepat
kiilat ke rumahnya yang tinggal beberapa meter lagi.
Seharian, Garnett
sibuk di kamarnya sampai ia menulis “DO NOT DISTURB!” di depan kamarnya. Hal
itu berlangsung selama 5 hari berturut turut sampai kadang mata Garnett merah
dan ada kantong matanya. Dia juga tidak luput dari ketiduran dalam kelas. Dan
teman temannya tidak berhenti mengingatkannya untuk cukup tidur.
Pada hari ke 6,
Titan menemui Garnett setelah pulang sekolah, “Nett … maaf aku nggak bisa
anterin kamu pulang lagi …”
Garnett hanya
diam. Dia mengusap wajahnya. “Maaf banget Nett. Tapi …”
“Kamu bilang Cuma
satu kali doang. Tapi malah udah berapa kali ini?? Sebenernya ada apa sih?
Jangan bilang kamu kena hukuman seminggu mberesin perpus setelah pulang
sekolah!” potong Garnett sambil menguap. “Hehehe … ah Nett ya nggak lah! Mana
mungkin begitu! Aku kan nggak berani masuk ke perpus tanpa kamu … aku ya sibuk
banget akhir akhir ini …”
Garnett
memandangi Titan dan memegangi dahi Titan, “Sibuk? Orang beginian juga bisa
sibuk ya? Perasaan dari dulu kamu nggak pernah …”
“Nett, aku baru
ada proyek soalnya” potong Titan.
“Apa? Proyek?
Proyek buat kandang kucing lagi??”
“Bukan, proyek
ini buat orang yang paling penting buat aku …” kata Titan. Muka Garnett merah
padam. Dia tersenyum kecil dan matanya berkaca kaca. “Kalo gitu … good luck ya
… aku pergi dulu”
“Nett?” panggil
Titan, namun sayang, Garnett sudah berlalu cepat.
Malam harinya di
kamar Garnett, dia menangis tersedu sedu. “Gitu ya? Titan dari dulu memang
nggak pernah berubah. Dia tetap bodoh!” bisiknya dalam hati. “Tapi … aku juga
sudah memutuskan bahwa Titanlah yang sudah membuatku memaksakan diriku untuk
membuatkannya ini, dan dari awal aku sudah benar benar berniat memberikannya
sebagai kado valentine. Aku tidak boleh menyia nyiakan niat baikku. Mau
nggaknya Titan menerima ini … pokoknya aku harus selesaikan dan kasih dia ini,
karena nggak Titan terus siapa lagi? Masa’ Hans? Hiii … mendingan Titan 100
kali” Ganett bangun dari tempatnya dan sibuk lagi mengerjakan sesuatu sebagai
kado valentine untuk Titan.
“Nah … selesai …”
gumamnya senang. Dia menjunjung tinggi sebuah syal berwarna hitam yang
tengahnya bergaris ungu dan di ujungnya tersulam lingkaran merah. Garnett
membungkusnya ke dalam sebuah tas kertas yang ia beli dan memasukkan kartu
ucapan.
Esoknya, tepat
hari Valentine. Sepulang sekolah Garnett memberikan tas itu pada Titan. “Tan …
ini buat kamu” anehnya, Titan menerima itu dengan dingin dan begitu saja berlalu.
“Aku tau Tan, ini bakalan jadi begini. Tapi semoga apa yang aku lakukan nggak
ngecewain kamu” gumamnya didalam isak tangis yang membanjiri pipinya. Hati
Garnett saat itu rasanya benar benar hancur.
Setelah hari itu,
Garnett dan Titan tidak pernah bertemu. Bahkan ketika mereka berpapasan, Titan
memalingkan mukanya dari Garnett. Hal itu semakin membuat hati Garnett semakin
hancur.
Hingga suatu hari
Titan mengunjungi Garnett di rumahnya. “Hai, Nett …”
“Titan?”
balasnya. Air matanya seakan akan meleleh keluar.
“Nett … aku mau minta
maaf” ujar Titan “Aku … sebenernya …”
“Tan …” sela
Garnett. Titan memandangi Garnett. “Kamu pake … apa di lehermu?” Titan menarik
syal di lehernya. Syal itu pemberian Garnett padanya. “Ya, Nett … buatanmu”
Garnett
memandanginya tidak percaya. Ia tersenyum dengan malu. “Semoga kalo kamu pake
itu … kamu jadi nggak kena flu lagi, ya Tan …”
“Sembarangan!!
Aku kan kuat!”
“Kuat sekuat
gabus, iya!”
“Kok jadi
ngeledekin gini sih?”
“Kemarin kamu
nggak masuk gara gara sakit pilek kan?”
“I… itu kan biar
aku punya alasan untuk nggak ikut ujian Sejarah!”
“Ahh … yang
bener??? Bukannya sejarah pelajaran kesukaan kamu??”
“Aaaahhh … udah
deh Nett … ni untuk kamu! Aku pergi dulu ya!” sebuah kotak putih berpita kupu
kupu ditinggalkan Titan kepada Garnett, Titan berlalu. Garnett membuka kotak
itu dan menemukan secarik surat yang bunyinya: … muka Garnet memerah dan senyum
menghiasi wajahnya. “Aku tahu sekarang, bodoh …”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MAKE IT BETTER ... [smile]