Lembar demi lembar buku dibalik dengan halus oleh Raisa. Matanya fokus
menerka tulisan tulisan di dalamnya, seakan ada tulisan yang akan tertinggal,
lewat dari penglihatannya. Mulutnya tersenyum sesekali. “Ah ... kok kamu jadi
nyuekin aku sih?” celetuk sebuah suara yang kedengarannya mulai kesal.
Raisa terperanjat. Ia menengok ke sebelahnya. “Maaf ... Neo”
“Kamu tu semena mena. Mbawa aku ke sini cuma suruh lihatin kamu baca”
“Aku nggak tau, tiba tiba pengen ngajak kamu ke sini aja. Tapi buku ini
bener bener bagus banget ... nunggu bentar lagi ya?”
“Ya, oke lah. Kalo gitu aku nyari buku juga. Biar sama sama asyik
sendiri” tukasnya.
“Oh, gitu? Siapa takut?” tantangnya.
Neo mulai mencari buku di sela sela tumpukan buku yang sebenarnya
membuat dia sedikit muak. Dia bukan tipe anak yang senang membaca. Setelah lama
ia mencari, ia menemukan buku yang membuatnya tertawa, ia mengambil dari rak
dan melihatnya sambil terkikik. Sesekali petugas perpustakaan mendesis tanda
diam.
“Kenapa pria punya puting susu? Ini buku apaan?” gumamnya. Neo
mengembalikan buku itu lagi. Ia mencari buku lain. Setiap kali ia mengambil
buku dan membuka halaman pertama, ia menutupnya kembali dan mengembalikannya ke
rak. Sampai ia putus asa akhirnya kembali ke sebelah Raisa.
“Gimana? Nemuin apa aja?” Tanya Raisa sambil menutup buku bacaannya.
“Nggak ada. Buku di sini payah”
“Kamunya aja yang nggak suka baca!” sanggah Raisa. Neo mendengus dan
duduk dengan malas. “Pinjem ini deh. Isinya bagus. Nggak tebel juga, bukunya
asyik kok, bisa diajak ngomong pula ...”
“Ha?”
“Beneran. Udah cepetan bawa kesana! Aku ada acara bentar lagi. Jadi aku
cabut ya?”
“Kok gitu sih?”
“Maaf ya ... kontak aku lewat e-mail atau yang lain. Aku buru buru
soalnya. Eh bukunya jangan lupa dipinjem. Sampe kamu keluar dari peminjaman,
aku nggak akan keluar”
“Katanya buru buru,”
“Makanya cepetan! Bawel ...”
Yang bawel siapa?? Gumam Neo di dalam hati. Dia meletakkan buku
di meja librarian dan menengok Raisa yang
berada di balik pintu kaca mengamati Neo. “Terima kasih, batas pengembalian
seminggu lagi, ya”
“Makasih mbak” ucapnya sambil melinguk Raisa. Wajahnya terlihat kesal,
apalagi saat mengambil buku itu.
Raisa dan Neo keluar dari shelter koleksi umum. “Kamu ngajak aku kesini
ngapain sih?”
“Ng apa ya? Cuma pengen ngasih lihat buku itu doang. Kenapa? Marah ya?”
“Nggak juga. Makasih ya?” balasnya tengik.
“Sama sama” jawab Raisa dengan senyum lebar. Ia meninggalkan Neo dan
pergi dari lokasi perpustakaan. Setelah melihat Raisa ‘kabur’, Neo juga tancap gas
pulang.
Sampai di rumah, ia meletakkan buku itu di atas meja belajarnya. “Duh
... Raisa ... Raisa ...” kata Neo lirih. Ia menengok ke jendela, masih siang,
cuacanya bagus. Udaranya sejuk, tiba tiba ia teringat ketika ia pertama ketemu
Raisa.
Saat itu, ketika lagu Lazy song – Bruno Mars mengisi telinga Neo sembari
memilih milih buku bacaan di perpustakaan itu, ia hanya menemukan komik tebal. Ia
tersenyum, tiba tiba seorang gadis menangis di sudut ruangan yang gelap menyita
perhatiannya. Neo mendekati gadis itu, “Hei ...” gadis itu terperanjat. “Maaf
aku ngagetin ya? Kok kamu di sini?”
Gadis itu masih sesenggukan menahan air matanya. “Aku ngganggu ya? Maaf
...”
“Nggak aku cuma penasaran kamu kenapa”
“Hmm ...”
“Nggak pa apa kalo kamu nggak mau cerita. Tapi jangan nangis di sini.
Kamu nggak malu nanti ada orang yang nemuin kamu kaya gini?”
Gadis itu menghela napas panjang. “Ya” dia berdiri dan mengambil buku
tebal di rak terdekat. “Aku temenin ya?” ucap Neo. Dia diam. Menurut Neo, semua
yang diam artinya “YA”. Jadi dia menemani anak itu.
Dilihatnya air mata gadis itu menetes di lembaran buku di depannya.
“Eehh ... bukunya nanti kuyup. Udah dong jangan nangis lagi” kata Neo mengambil
buku di depan gadis itu.
Ia menengok ke arah Neo, “Kamu siapa sih?”
“Oh, kenalin, aku Neo, kelas XII. Kamu?”
“Bukan itu maksudnya. Apa aku kenal kamu?”
“Oh ... seingatku kita belum pernah ketemu. Kita baru ketemu sekali”
“Terus ngapain kamu kayak perhatian gitu?”
“Soalnya muka cewek jadi jelek kalo nangis, kata Raditya Dika. Makannya
aku mau buktiin”
“Kamu suka Raditya juga? Aku juga loh”
“Wah asyik nih. Kalo gitu gabung ni di grup Konyol Kita, Konyol Kamu
Juga di Facebook”
“Oke. Makasih”
Neo tersenyum. Secara tidak lansung ia menghentikan deraian air mata
gadis itu. Ia membaca komik yang ada di genggamannya dengan tenang. Ketika
selesai membaca, gadis itu menghilang entah kemana bersama buku tebal yang tadi
dibawanya. Tapi tak lama kemudian, gadis itu muncul dibelakangnya mengajaknya
keluar.
“Kamu minjem buku itu?”
“Ya .... eh ngomong ngomong makasih ya aku sudah nggak nangis lagi. Oh!
Maaf aku nggak sopan, aku Raisa kelas 9” setelah mengucapkan itu, Raisa
berbalik mengambil tasnya di locker perpustakaan. Neo pergi ke tempat parkir,
mengambil sepeda motornya. Tiba tiba hujan deras mengguyur tempat itu. “Duh
mana nggak bawa mantol masa mau pulang ... kalo bukunya basah gimana nih?”
Akhirnya, Neo kembali ke dalam. Dia bertemu Raisa lagi. “Hujan ...”
ucapnya. “Apa?” balas Neo. “Nggak apa apa”
Setelah beberapa menit menunggu, hujan tak kunjung reda, “Eh kak Neo
...”
“Jangan panggil kak ... biasa aja. Ada apa?”
“Pernah nggak merasa jadi batu penghalang?”
“Kok tanyanya gitu sih?”
“Jawab aja ...”
“Gimana ya ... nggak juga sih. Belum. Emang kenapa?”
Mata Raisa berkaca kaca. “mungkin aku harus pergi dari kehidupan mereka.
Tapi kenapa aku dilahirkan sempurna?”
Dari kata kata yang terucap oleh Raisa, Neo beranggapan Raisa mungkin
ada masalah di dalam keluarganya. “Kamu kelas berapa sekarang?”
“Bukannya aku dah ngomong tadi?”
“Habisnya kamu ngomong setengah hati... kalo kamu emang kelas sembilan,
bentar lagi kan ujian. Kenapa kamu kayak nggak semangat menyambut ujian itu?”
Raisa diam. Dia menarik napas panjang. Mendongak ke atas sepertinya
memaksa air matanya masuk kemali ke dalam katup matanya. Pipinya memerah. “Iya
ya ...” katanya. Neo menengok ke Raisa. “Buktiin ke aku kalo kamu bisa. Ini janji
ya, rata ratanya harus menyaingi aku, dan mulai saat in kamu harus belajar
keras”
“Ha?”
“Nilai rata rataku UN 8.9. kalo kamu bisa 9, aku akan acungi jempol dan
ada sesuatu yang menanti kamu. Sekarang masih ada 3 bulan sebelum UN, dan aku
akan nunggu hasilnya bulan Mei di hari pengumuman. Sore, kalo kamu nggak
datang, berarti kamu ingkar janji, dan kalo kamu datang ada sesuatu yang nunggu
kamu, gimana?”
“Janji?”
“Biar kamu semangat. Aku jamin hadiahnya nggak bakalan ngecewain kamu
kok!”
“Gimana kalo kamunya yang nggak ada di tempat?”
Neo tersenyum, “Sekarang lihat kedua mataku, apa aku tipe orang yang
seperti itu?” Raisa menatap kedua mata Neo. Bersinar, hangat dan serius, itu
kesan yang ada di matanya. “Apa jaminannya?”
“Besok Mei, tepat saat rencana pengumuman hasil UN aku ultah”
“Beneran?”
“Ya. Dan aku tadi beli ini. Nah ini jaminan kalo kamu besok setelah
pembagian hasil UN kamu kesini, hari itu juga, sambil membawa ini, itu artinya
kamu nggak bawa lari harapan dan semangat yang aku kasih ke kamu, tapi kalo
sebaliknya ...” Neo mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Ada sebuah
bungkusan cokelat. Nggak terlalu besar, tapi memang kelihatannya seperti kado.
Neo memberikannya ke Raisa. “Hujannya udah terang, aku pulang dulu ya! Pulang
sendiri ya? Hahaha, jaga itu ya!”
Neo bergerak meninggalkan Raisa. Dari belakang Raisa menarik tangan Neo,
“Neo,” panggilnya. Neo menoleh, “terima kasih, ...” Neo mengangguk dan pergi
meninggalkan Raisa.
3 bulan kemudian, pukul 17.34, purpustakaan itu mulai sepi. Tinggal satu
orang di meja baca dan 2 penjaga perputakaan yang sibuk menyeleksi buku buku
perpustakaan. Itu Neo, berkali kali dia melihat jam tangan putihnya, dia
kelihatan resah. Tapi berulang kali dia tak acuh terhadap waktu dan kembali
membaca komik setumpuk yang sudah ia baca berkali kali sejak pukul 14.00. Tapi
keningnya berkerut. Kelihatannya dia mulai putus asa.
Tiba tiba Neo menyeret kursinya dan keluar dari ruang koleksi umum itu.
Langkahnya berat dan mulai kedengaran kesal. Tiba tiba dari luar, dia melihat seorang
gadis bermantol hitam dan membawa bungkusan plastik yang basah berlari ke dalam
perpustakaan itu. “Ah!” gadis itu terperanjat melihat Neo.
Seketika air muka Neo berubah, dia lebih relaks, “Raisa...”
“Maaf, aku lama ya?”
“Banget”
“Duh maaf deh, ke kantin bentar deh, aku punya kabar bagus buat kamu!”
katanya girang. Neo mengampiri Raisa yang masih menunggunya di daun pintu. Mereka
pergi ke kantin dekat perpustakaan itu.
Raisa meletakkan bungkusan basah itu di depan Neo, mereka hanya berdua
di kantin itu. Lalu Raisa melepaskan mantolnya, mengambil sesuatu dari tasnya.
“ini apa hayo?”
“Itu surat pengumuman ya?? Sini sini lihat dong!!!” sorak Neo. Raisa
memberikannya pada Neo. Seperti binatang buas yang sedang mencabik cabik
mangsanya, dia membuka surat itu dan gemetaran, “Wah! Sukses nih! Selamat,
ya!!!” soraknya lagi, Neo terlihat begitu senang, lebih senang dari pada Raisa.
Raisa tersenyum, “Nggak,” Raisa menggenggam tangan Neo, dan menyalaminya,
“Selamat juga ya”
Neo baru saja teringat, “Ahahaha ...” tawanya mendera. Raisa membuka
bungkusan itu. “Aku tadi nyari cup cake, ternyata Cuma tinggal 2, terus nyari
lilin angka, tapi setelah aku pikir pikir, aku nggak tau kamu umur berapa, jadi
aku beli yang ini aja. Kamu suka warna apa?”
“Kuning aja, kita sama sama senang kan?”
“Hehehe” Raisa menyiapkan lilin diatas cupcake merah bergambar ladybug,
“Nggak nyangka, kamu bisa menyaingi aku, rata rata nilainya expert banget, 95
itu sudah bagus banget lo ... rangking 2 pula”
“Itu semua berkat dorongan kamu, aku jadi semangat lagi. Nah ini udah
siap,” Raisa menyanyikan lagu Happy birthday to You, Neo meniup lilinnya.
“Makasih ya” kata Neo dengan senyum lebar.
“Sama sama,” balas Raisa.
***
Senyum Neo terkembang kembali sore itu. “Hahahaha” tawanya mendera memenuhi
kamar Neo. Neo kemudian berbaring di kasurnya yang empuk, melihat langit langit
kamarnya yang biasa saja. Neo tersenyum senyum sendiri, mungkin terbayang
kejadian saat itu, pengalamannya bersama Raisa. Neo akhirnya terlelap dalam
senyum.
Ketika dia bangun, ia teringat pada buku yang dipinjamnya di
perpustakaan. “Kenapa ...ini kan buku yang aku lihat tadi! Ah Raisa ini bener
bener ...” tapi di dalam lubuk hatinya, Neo ingin tau apa yang ada di dalamnya,
dia lipat cover buku itu dan halaman demi halaman terbalik cepat. Plek ...
selembar kertas biru jatuh dari buku itu.
Neo memungutnya, membuka lipatannya
Neo, atau sebaiknya aku panggil
kakak ... karena buatku Neo seperti kakak dan hujan sejuk. Neo, sebenernya aku
ngajak kamu ke sini, aku cuma pengen lihat Neo. Tiba tiba aku kangen sama Neo.
Udah 2 tahun ya kita udah nggak ketemu. FB aja jarang Neo buka. Aku juga. Tapi
karena dulu sesudah kita merayakan pesta ultahmu, aku lupa minta nomor
ponselmu. Hehehe, tapi saat itu aku sadar, karena Neo lah yang buat aku kembali
semangat sampai sekarang, makasih ya. Kemarin HP ku kecolongan, dan aku belum
punya HP Lagi, makannya aku nggak ngasih nomorku. Makasih Neo, eh bukunya asyik
nggak? (Raisa)
Neo dengan tergesa gesa menengok jam dinding kamarnya, “Ah ...”
dengusnya, ia menyesal. Sudah tengah malam, Neo tidak akan bisa kembali ke
perpustaaan itu untuk bertemu Raisa. Dia langsung tancap online ke Laptopnya,
Neo membuka akun Facebooknya dan mengetikkan message untuk Raisa. Besok ke Perpustakaan, pagi jam 09.00.
Paginya, ketika Neo baru saja tiba di perpustakaan itu, Raisa sudah
menunggunya di depan locker. “Kamu lama...”
“Enggak, ini tepat waktu. Jam 09.00. kamunya aja yang kepagian”
“eh? Iya kah?” Raisa menarik sleeve nya dan melihat jamnya, memang tepat
jam 9. “Iya. Kamu bener. Gimana udah selesai baca bukunya?”
“Yang penting dari itu adalah ... aku pengen tanya sama kamu. Tapi
jangan disini” Neo menarik Raisa keluar
dan mengeluarkan kertas biru dari saku jaketnya. “Ini apa?” Neo menatap Raisa
dengan tajam.
Raisa diam. Mukanya merona. “Ummm ... nggak .... itu cuma”
“Ini yang bisa diajak ngomong?” tukas Neo. Raisa mengangguk pelan.
“Raisa, kenapa nggak ngomong langsung?”
“Aku nggak bisa! Cuma itu satu satunya yang bisa aku lakukan biar kamu
tau”
Neo menggaruk garuk kepalanya. “Udah lah. Sekarang aku tau maksud kamu”
Neo berdiri di samping Raisa. Happy birthday to you .... happy birthday to you
.... happy birthday, happy birthday, happy birthday to you ... Neo menyanyikan
dengan menyodorkan sebuah cornetto disk chocolate pada Raisa. “Ultah ke 17
harus special kan? maaf aku nggangguin
waktu kamu, tapi sebentar aja nggak apa apa kan? Nih buat kamu, sebagai tanda
kalo aku udah menerima ucapan terima kasih kamu”
“Makasih” Raisa mengambil cornetto dari tangan Neo, memakannya dengan
tenang, dan sedikit tersenyum. “Neo ...”
“Ya?”
“Tadi kamu bilang ultah ke 17 harus special, kenapa?” tanya Raisa.
Senyum mengembang di bibir Neo. Dia tertawa kecil, “Kenapa kamu tanya?
Harusnya kamu udah tau kan?” katanya sambil membuang bungkusan cornetto ke
tempat sampah. Raisa menatapnya dengan penasaran, “Aku belum tau,”
Neo masih terkikik, “Karena saat ultahku yang ke 17, aku melihat The New
Raisa yang tersenyum lebar karena sudah mengalahkan aku”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MAKE IT BETTER ... [smile]