Total Tayangan Halaman

Rabu, 25 Desember 2013

Temani Aku

Yeah ... aku ngepost habis habisan hari ini! sebenarnya banyak cerpen yang mau aku post, tapi kelihatannya laptop lamaku nggak suka kompromi. Tapi don't worry (siapa yang WORRY??!) besok atau kapan aku akan mencabut memori laptop tercintaku si hitam manis Aulis XIOO .... Sebelumnya cerpen ini aku tulis kelas 11 ... tetap dengan genre yang sama. So please Check it out!
Terbaring di sini, di atas atap merah sambil memandangi langit yang akan berubah menjadi hitam sesore ini membuatku sedikit merinding. Dulu, ada seseorang gadis yang selalu menemaniku di sini. Saat seperti ini yang begitu santai dan tenang. Sekarang aku harus menebak dalam hati bentuk apa yang ada di awan itu, bola kah, permen lolipop kah ... dia kah?

Kami tidak pernah mengatakan “aku sayang sama kamu” atau “aku mencintaimu” tapi yang aku tahu, kami saling menyayangi dan selalu ingin ada kapanpun. Bukti kami bukan janji, tapi kebersamaan yang sudah lama sekali kami lalui. Tiga tahun yang lalu pada hari ini, Sheryl, itulah bagaimana aku selalu memanggilnya, terakhir kali bertemu denganku dan mengucapkan perpisahan. Meski tidak di atap ini. Dunia dan langit yang kulihat luas selama ini tiba tiba terasa begitu sesak dan sempit. Setelah itu penjelasan mengenai sebuah portal dan dunia tanpa langit biru dan kesenangan terpapar dari mulutnya. Dia bercerita, seperti apa jalan yang harus ia lewati menuju kesana.

Aku masih ingat. Semuanya. Aku juga masih ingat bagaimana kami menghabiskan waktu bersama. Kami bertetangga. Tidak terlalu jauh dan terlalu dekat, hanya 2 blok rumah ukuran sedang yang mimisahkan rumah kami.

Ketika Sheryl kecil selalu bertingkah sebagai peri yang baik hati dan selalu menolong orang yang kesulitan, aku justru bertingkah seperti kurcaci yang lapar akan perhatian. Sheryl akan meninggalkanku ketika ada seorang bocah terjatuh dari sepedanya di hadapan Sheryl. Si kecil manis dan penyayang langsung berlari membantu bocah itu berdiri. Dan menegakkan lagi sepedanya. Dengan ringan ia melambaikan tangannya saat bocah itu pergi setelah mengucapkan terimakasih. Setelah itu, dengan riang, Sheryl akan berkata padaku, “jika aku bisa terbang, aku mau jadi peri sungguhan. Aku mau menolong banyak orang”

Tapi aku selalu menjawabnya dengan gerutuan dan membuang mukaku darinya. “Mereka bisa berdiri dan melangkahkan kakinya sendiri tanpamu, Sheryl. Di sini, kau hanya perlu menemani aku dan bersikap manislah” namun Sheryl kelihatannya tidak menghiraukan jawaban konyol itu. Yang selalu ia lakukan hanyalah tersenyum dan membuatku merasa lebih tenang.

Waktu akan terus berjalan, kami tumbuh menjadi remaja bersama. Dengan teman yang sama, dan bagiku, mungkin hanya ada satu teman di dunia ini buatku, ya, Sheryl. Aku melihatnya selalu dikerubuti orang banyak, berkenalan dengan teman teman yang baru, tapi aku, hanya terus menggerutu dan menuntutnya untuk terus bersamaku.

Sheryl, gadis pantang menyerah dengan berjuta senyuman manisnya ketulusan dari hati yang paling dalam. Awalnya aku berpikir bahwa Sheryl akan selalu baik kepadaku, hanya padaku. Tapi tidak, ketika dunia ingin ditelusuri lebih luas dan dalam, kebaikan itu bagaikan virus yang membuatku kecil dan ketakutan. Sheryl tiba tiba memutuskan bahwa dia akan mengikuti komunitas bakti sosial dan cinta lingkungan di sekolah kami. Dia mendapatkan formulirnya dan sudah di cap. Tinggal menunggu kapan kegiatan itu akan dimulai. Hatiku makin remuk. Aku berpikir, Sheryl akan lebih jauh meninggalkan aku.

Tak ada jalan lain selain terus membuntutinya. Aku juga mengikuti kegiatan itu, meski terlambat untuk mendaftar, tapi Sheryl selalu ada untuk membantuku. Aku bisa ikut dalam komunitas dan mengikuti kegiatan apapun yang Sheryl ikuti. Ini membuatku sedikit lega. Akhirnya jarak diantara kami perlahan bisa berdekatan lagi.

Selama aku mengikutinya di komunitas, banyak hal yang terlewati, Sheryl mengenalkan padaku teman temannya yang sebelumnya aku cemburui dan aku tolak. Tak kusangka, mereka menerimaku dengan girang dan lapang. Aku mengingat nama mereka, Harry, Hummer, Gina, Lollita dan Sebastian. Mereka semua orang orang baik.

Semakin lama, justru aku yang semakin nyaman di dalam komunitas itu, banyak kegiatan tentang alam dan penyelamatan lingkungan yang kami lakukan. Rasanya aku telah menemukan duniaku di situ. Tapi di sela sela kesenangan itu, ada kesedihan di sisinya, tanpa ada sedikitpun aksiku untuk menghilangkan kesedihan, aku tetap mengejar kesenanganku di duniaku sendiri. Perlahan dunia mulai terang, tidak seterang matahari ketika menanjak di siang bolong, hanya seterang saat pagi di sinari sedikit cahaya matahari.

Suatu pagi, di waktuku yang longgar aku membujuk Sheryl untuk menemaniku bermain di kota seperti biasanya. Tapi, jawaban “ya. Tunggu sebentar aku pamit dulu sama Ibu” tidak terdengar dari mulutnya dengan suara manis yang biasa aku dengarkan, melainkan suara Ibunya sendiri yang melarangku pergi bersamanya.

Ditolak untuk bermain dan pergi bersama menambahkan awan mendung di duniaku. Dari dulu, aku selalu bisa menemuinya dan mengajaknya bermain, tapi untuk kali itu, adalah pertama kalinya aku tidak bisa bertemu dengannya. Tapi bukan pertama kalinya aku merasakan hatiku remuk dan duniaku kelam.

Aku tidak menyerah, aku mencari tahu apakah sebabnya. Semua orang yang dekat dengannya, meski tidak sedekat aku, kutanya apa yang terjadi padanya. Yang kuterima selalu jawaban tidak tahu kenapa. Pernah aku mencoba bertanya padanya kenapa dia menolakku hari itu, tapi Sheryl menghindar  dan berlari jauh.

Di dalam daftarku, hanya tertinggal satu orang teman dekatnya yang belum kumintai keterangan. Dia juga teman terdekatku ke2, Sebastian. “Sebastian, kau ada waktu?” tanyaku ketika menemuinya di kantin.

“Kenapa? Apa tentang kegiatan yang seminggu lagi diadakan?” jawabnya.

“Bukan soal itu. Kurasa bukan urusan kita, anak kelas 3 lagi. Ini tentang seseorang.” Sebastian mengangkat sebelah alisnya dan mengangguk. “Dimana?”

Jawaban singkat itu memberiku harapan.

Kutanyakan apapun yang ada dibenakku padanya. Awalnya Sebastian menolak untuk memberitahuku, tapi aku tidak menyerah begitu saja. aku terus memojokkannya dengan sederet pertanyaan. Diawali dengan garukan kepala yang sepertinya tidak gatal itu, Sebastian menceritakan semuanya yang tidak aku ketahui. Keterangan dari Sebastian ternyata terlalu cukup untuk menjawab berjibun pertanyaanku tentang Sheryl yang aku tanyakan padanya beberapa menit lalu.

Beruntung ketika aku berlari, aku menemui Sheryl yang akan menyebrangi jalan depan sekolah. Aku menarik tangannya dan memeluknya tanpa menghiraukan sekelilingku. Hal yang biasa aku lakukan ketika kami masih kecil dulu.

Tapi sebuah hempasan lemah dan tamparan kecil tepat di pipiku menyadarkan aku bahwa hal itu tidak baik di tempat seperti itu. Aku mengikutinya berlari dan menangkapnya. Memaksanya berkata  ‘bohong’ atas keterangan yang kuterima dari Sebastian.

Dengan deraian air mata menahan rasa sakit dari cengkraman tanganku, tapi Sheryl mengucapkan yang tidak kuharapkan, “Benar”. Aku runtuh di depannya.

“Kondisiku sudah lemah sedari lahir. Akhir akhir ini, banyak kegiatan yang aku ikuti. Kondisiku melemah. Ibu dan Ayah langsung mengambil tindakan memberhentikan aku dari komunitas lewat Sebastian. Aku tidak bisa menolaknya”

Ternyata Sebastian adalah orang pertama yang mengetahui Sheryl sedang sakit. Bukan aku. Sebastian pasti tahu semuanya. “Aku ingin kita terus menjalani hidup ini sampai selesai. Aku mau menolong siapapun dan apapun. Termasuk menolongmu dari rasa iba dan panik atas keadaanku”

Akhirnya, diantara deraian air mata kami, sebuah janji terucap lantang dari mulutku. Di atas jalan gang kecil menuju rumahnya, Sheryl berada di pelukanku. Hanya sebuah kalimat kecil yang mengawali janji kecilku padanya. “Apapun yang kamu lakukan, aku akan melindungimu”. Mulai hari itu, kami mulai kembali pada waktu waktu masa kecil, menghabiskan waktu bersama, melakukan hal hal yang kami suka, ditambah rutinitas di atas atap merah memandangi langit yang berbah warna dari biru, oranye, merah lalu gelap.

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, satu tahun, dua tahun, tiga tahun tidak terasa buatku. Entah bagaimana rasanya dengan Sheryl. Aku merasa lebih nyaman sekarang. Aku bisa terus bersamanya dan melindunginya, aku akan terus ada di sampingnya sampai malam itu, mendadak Sheryl dikabarkan masuk ke rumah sakit.

Aku berlari ke rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari rumahku. UGD. Disitulah aku melihat kedua orang tuanya berisak tangis dan kulihat, mungkin sebentar lagi hal yang sama akan terjadi padaku jika ada sesuatu yang salah terjadi pada Sheryl.

Tapi, Tuhan berkehendak lain, Sheryl diberikan perpanjangan waktu. Setelah kudengar cerita dari kedua orang tuanya yang mulai lega, aku merasa bahwa insiden itu adalah salahku. Bermula ketika Sheryl pergi ke sebuah toko alat tulis, tanpa teman, tanpa aku. Disana, dia ditikam oleh beberapa orang mengenakan pakaian serba hitam. Darah mengguncur dari perutnya dan uangnya lenyap.

Aku merasa jatuh ke lubang paling dalam dan paling gelap. Ini karena aku tidak bersamanya saat itu. Mungkin jika aku bersamanya hal itu tidak akan terjadi. Aku belajar sedikit beladiri dari Sebastian. Aku bisa menghajar mereka sampai kelimpungan dan Sheryl tidak akan terluka. Mungkin, jika aku bersamanya saat itu, aku yang akan pergi membelikan apa yang Sheryl inginkan ke toko itu.

“Darin, jangan salahkan dirimu. Mungkin bukan keberuntunganku. Tapi sekarang aku sudah diberi keberuntungan yang lain. Kesempatan kedua” potongnya saat aku berkata ngawur di depannya.

Senyuman manis itu, ya, melebarlah, jangan sampai padam, pintaku dalam hati. “Sebentar lagi, setelah kamu memberikan senyumanmu yang khas itu padaku dan menurunkan alismu sedikit, portalnya akan terbuka. Disana akan ada banyak orang yang menungguku. Tapi tanpa dirimu, mungkin ... terlalu mendung dan tidak ada kesenangan lagi”

“Hehehe ... kenapa bicaramu nglantur? Jangan khawatir, kamu akan segera sembuh dan kita bisa melanjutkan kuliah kita. Kita bisa bermain, ...”

Sheryl menyentuh wajahku, “Tersenyumlah, Darin. Setidaknya untukku dan harapanmu” setelah itu, senyuman manis itu terkembang, ia melambaikan sebelah tangannya lemah sekali dan jatuh.

Mengingatnya saat ini, kurasa adalah hal yang tepat saat aku terpuruk. Pesan terakhir yang ia sampaikan padaku dan cerita terakhir yang ia ceritakan padaku tak akan pernah lekang dari ingatanku. Bahkan saat pertama kali aku dipertemukan dengan Sheryl. Dan saat ia tersenyum dan mengatakan selamat malam itulah pertama dan terakhir aku bisa merasakan cinta yang mengharum seperti bunga bunga yang mekar di musim semi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKE IT BETTER ... [smile]

Mengenai Saya

Pengikut